Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali anjlok pada pekan ini. Hal itu didorong saham-saham kapitalisasi besar yang masuk indeks saham LQ45.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, seperti ditulis Sabtu (19/5/2018), IHSG koreksi 2,9 persen dari 5.956 pada 11 Mei 2018 menjadi 5.783 pada 18 Mei 2018. IHSG melemah didorong saham kapitalisasi besar yang masuk indeks saham LQ45.
Saham-saham tersebut turun 4,48 persen selama sepekan. Sedangkan saham kapitalisasi kecil naik 1,1 persen hingga perdagangan Kamis pekan ini. Investor asing masih jual saham dengan nilai USD 431 juta atau sekitar Rp 6,1 triliun (asumsi kurs Rp 14.155 per dolar Amerika Serikat).
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, indeks BINDO yang menunjukkan surat utang atau obligasi turun 0,26 persen selama sepekan. Imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun naik 21 basis poin menjadi 7,4 persen. Investor juga lakukan aksi jual di pasar obligasi senilai USD 706 juta atau sekitar Rp 9,99 triliun.
Sejumlah faktor internal dan eksternal bayangi pasar keuangan global termasuk IHSG. Putaran kedua perundingan perdagangan Amerika Serikat (AS)-China dimulai di Washington, AS pada Kamis pekan ini. Pembicaraan bilateral pun diperkirakan sulit meski ada ruang untuk selesaikan beberapa masalah.
Dalam berita terbaru, China menawarkan Presiden AS Donald Trump sebuah paket konsepsi perdagangan dan peningkatan pembelian barang-barang AS yang ditujukan untuk memangkas defisit perdagangan AS dengan China hingga USD 200 miliar per tahun. Akan tetapi, China menyangkal hal itu. "Itu rumor tak benar," ujar Juru Bicara Menteri Luar Negeri China Lu Kang, seperti dikutip dari laman CNN Money.
Selain itu, AS juga menerima kritik internasional yang intens pada Senin ketika merayakan pembukaan kedutaan di Yerusalem. Dewan Keamanan PBB pun mengadakan pertemuan darurat yang menghardik Israel usai pasukannya menewaskan lebih dari 60 demonstran Palestina di Perbatasan Gaza usai AS merayakan kedutaan barunya.
Sentimen Internal
Dari sentimen internal banyak faktor pengaruhi IHSG. Terutama rilis data ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan defisit perdagangan. Tercatat neraca perdagangan USD 1,6 miliar pada April 2018. Hal itu didorong turunnya volume ekspor minyak dan gas (migas) yang disebabkan penurunan ekspor minyakk terutama jatuhnya nilai minyak dan gas dibandingkan bulan sebelumnya.
Selain itu, jatuhnya volume dan nilai nonminyak dan gas yang disebabkan oleh jatuhnya sektor tambang secara besar-besaran dan baja. Sedangkan impor didorong dari impor migas yang lebih tinggi didorong oleh perubahan harga dan bukan volume. Impor nonmigas yang lebih tinggi didorong volume yang tinggi terutama didorong mesin, baja, serealia dan pesawat terbang.
"Meski neraca perdagangan berbalik defisit pada April 2018, kami masih tetap positif karena impor secara besar-besaran merupakan impor produktif. Namun ekspor turun dapat membuat impor produktif tidak berkelanjutan dan ekspor perlu berbalik arah," kata dia.
Secara mengejutkan terjadi teror bom di Indonesia. Aksi teror itu terjadi di Surabaya, Sidoarjo, Riau pada akhir pekan lalu hingga awal pekan ini. Hal tersebut sempat berdampak ke pasar saham meski terbatas.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) pun memutuskan menaikkan suku bunga acuan atau 7 day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,50 persen. Ini sesuai harapan pasar. BI secara konsisten menunjukkan kalau tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan bukan perketat kebijakan keonomi.
Sejalan dengan itu, tingkat Deposit Facility tetap naik menjadi 3,75 persen dan Lending Facility naik menjadi 5,25 persen. Siklus kenaikan suku bunga pada 2008-2013 menunjukkan rata-rata kenaikan suku bunga 25 basis poin untuk depresiasi 3-4 persen dalam mata uang.
Advertisement
Harga Minyak Jadi Perhatian
Lalu apa yang dicermati ke depan?
Sinyal konsumsi meningkat? Ashmore melihat pasar sedang mencerna dampak kenaikan suku bunga 25 basis poin. Apakah ada ruang perlambatan pertumbuhan? Pada kuartal II 2018, konsumsi diharapkan lebih tinggi. Ini didorong ada pemilihan kepala daerah (Pilkada). Perkiraan konsensus akan ada dana Rp 17 triliun dari total anggaran untuk membayar pekerja pemilihan umum pada Juni 2018 saja.
Pada 27 Juni 2018 juga lebih banyak pemilihan kepala daerah ketimbang 2015 dan 2017. Secara instan, anggaran komisi pemilihan umum (KPU) hampir tiga kali lebih besar dari anggaran pemilu pada 2017.
Selain itu, kuartal II biasanya ada pencairan bantuan sosial pemerintah dan dana desa dua hingga tiga kali lebih besar dibandingkan kuartal I 2018. Ashmore melihat distribusi uang tambahan sebesar Rp 27 triliun. Dengan gabungkan anggaran pencairan dan pemilihan, ada tambahan uang tunai Rp 44 triliun di pasar.
Pemerintah juga pun akan membayar bonus pegawai lebih awal dari tahun lalu dan membayar gaji ke-13 pada awal Juni 2018. Data ekonomi lainnya juga terlihat cukup menjanjikan pada April. Ini ditunjukkan dari pertumbuhan penjualan kendaraan roda dua mencapai 50 persen secara year on year (YoY). Sedangkan bulanan tumbuh sembilan persen. Hal tersebut pertumbuhan terkuat sejak November 2015.
Sementara itu, penjualan roda empat tumbuh 14 persen secara year on year (YoY). Di sisi lain, data ritel juga menunjukkan pertumbuhan yang kuat pada April 2018 dengan pertumbuhan FMCG naik 2,4 persen dan perdagangan umum tumbuh 1,2 persen. Konsensus juga memperkirakan penjualan property tetap kuat pada April 2018. Hal tersebut menunjukkan meski rupiah melemah, konsumen dan pengguna akhir relatif tidak terpengaruh.
Ashmore juga melihat selain rupiah, Indonesia juga rentan terhadap pergerakan harga minyak. Konsensus menyatakan kenaikan suku bunga akan kembali terjadi. Diperkirakan suku bunga naik 25 basis poin pada kuartal III 2018. Ini karena meningkatnya tekanan pada inflasi yang didorong harga minyak.
Konsensus memperkirakan harga minyak berada di posisi USD 75 per barel, inflasi akan meningkat dari 3,5 persen mennadi 4,1-4,2 persen pada 2018. Meski pun masih jauh di bawah perkiraan pemerintah di kisaran 2,5 persen-4,5 persen, itu mungkin menjadi risiko terbesar bagi Indonesia.
"Namun berdasarkan perhitungan kami, harga minyak naik ke posisi USD 82 per barel. Dampaknya terhadap neraca perdagangan," tulis Ashmore.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: