3 Hal Ini Membedakan UU Antiterorisme dengan Revisinya

Ada tigal hal yang membedakan antara UU Antiterorisme Nomor 15 Tahun 2003 dengan UU Antiterorisme yang saat ini sedang direvisi DPR bersama pemerintah.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 19 Mei 2018, 13:07 WIB
Ilustrasi Foto Teroris (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Pansus Revisi Undang-Undang (UU) Antiterorisme Supiadin Aries Saputra menyebut ada tigal hal yang membedakan antara UU Antiterorisme Nomor 15 Tahun 2003 dengan UU Antiterorisme yang saat ini sedang direvisi DPR bersama pemerintah.

Ketiga perbedaan itu mulai dari sifat penindakan terhadap kejahatan terorisme, aparat yang terlibat, hingga penanganan terhadap masyarakat usai aksi terorisme.

"Undang-undang existing (UU Nomor 15 Tahun 2003) itu dia bersifat reaktif, tunggu bom, tunggu peristiwa, tunggu korban terjadi, baru bertindak. Karena selama ini aparat tidak punya payung hukum untuk menghadapi, menindak gejala-gejala yang ditimbulkan para terduga teroris," ujar Supiadin dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (19/5/2018).

Misalnya, lanjutnya, kita sudah tahu ada rencana dari 500 fighter yang baru saja kembali dari ISIS. Akan tetapi, kata Supiadin, 500 fighter ini tidak dapat ditindak secara hukum.

"Padahal dalam KUHP jelas sekali, kalau ada warga negara secara terang-terangan bergabung dengan pemberontak, menjadi tentara asing tanpa izin, maka bisa dicabut kewarganegaraannya," ucapnya.

Meski begitu, Supiadin menegaskan, pencabutan kewarganegaraan tidak bisa dilakukan begitu saja. Karena, kata dia, setelah itu nantinya akan timbul permasalahan baru lagi yaitu status mereka.

"Dalam Revisi UU Antiterorisme yang nanti akan diundangkan, penanganan terorisme yang bersifat proaktif diakomodir," kata dia.

Artinya, lanjutnya, aparat diberi kewenangan untuk menangkap terduga teroris meski aksi teror belum terjadi.

"Kami sebagai wakil rakyat ingin memberi kewenangan ke aparat kita, tapi ingin melindungi rakyat juga. Jadi nanti maksimum 21 hari ditahan, ditangkap. KUHP mengatakan orang boleh ditangkap apabila memiliki bukti permulaan yang cukup. Misalnya ada laporan, rekaman video. Ini pencegahan," terangnya.

 


Kedua

Ilustrasi Foto Teroris (iStockphoto)

Yang kedua, ucap Supiadin, adalah penindakan terorisme melibatkan pasukan-pasukan TNI. Menurut dia, kehadiran tentara dalam operasi penindakan yang dilakukan polisi sudah lama berlangsung.

"Kita tahu Polri itu berkali-kali minta bantuan TNI. Sekarang secara resmi pemerintah, Presiden sejak bom kemarin ini minta (TNI) dilibatkan," ucapnya.

Supiadin menjelaskan, Detasemen Gultor Kopassus jauh sudah ada sebelum ada Densus 88. Mereka, kata dia, memiliki kemampuan di tiga matra.

"Di Korps Marinir ada Detasemen Jalamangkara yang memiliki kemampuan mengatasi terorisme di laut. Bagaimana mereka menembak dari bawah air, mereka bisa tahan menyelam 1 jam. Detasemen Bravo yang memilik kemampuan atasi terorisme di pesawat udara," tutur dia.

 


Ketiga

Ilustrasi Foto Teroris (iStockphoto)

Dan yang ketiga, sambung Supiadin, revisi UU Antiterorisme juga akan dilengkapi penjelasan penanganan pascaserangan teroris.

Ia mencontohkan penanganan terhadap korban, di mana pemerintah memberikan santunan kepada korban serangan teroris.

"Undang-undang ini kita lengkapi dengan bagaimana penanganan pascabom seperti memberi santunan dan lain-lain. Bagaimana penanganan terhadap korban meninggal dunia dan luka berat. Ini tiga isi subtansi strategis yang tidak dimiliki undang-undang sebelumnya," tegas Supiadin.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya