BIN: Teror Terjadi karena Kewenangan Penindakan Dipangkas

Akibat dicabutnya sejumlah kewenangan aparat keamanan dalam penindakan, lanjut dia, teroris dari luar pun akhirnya masuk ke Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Mei 2018, 14:06 WIB
Warga antusias menyaksikan penggerebekan terduga teroris oleh Densus 88 Antiteror Mabes Polri di Jalan Gempol Raya, Kunciran Indah, Tangerang, Banten, Rabu (16/5). Warga dilarang mendekati lokasi saat penggerebekan terjadi. (Merdeka.com/Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Komunikasi BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan kewenangan aparat keamanan untuk menanggulangi aksi terorisme sebenarnya telah dipangkas dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini membuat aparat penegak hukum tidak bisa langsung menindak terduga teroris tanpa ada aksi terlebih dahulu.

"Kewenangan dipangkas, UU-nya dicabut ibarat gigi kita punya gigi dicabut, mana bisa gigit. Sementara negara lain meniru kita UU-nya," kata Wawan di Resto Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (19/5/2018).

Akibat dicabutnya sejumlah kewenangan aparat keamanan dalam penindakan terorisme, lanjut dia, teroris dari luar pun akhirnya masuk ke Indonesia. Contohnya saja, Noordin Mohammad Top dan Dr. Azhari.

"Mengapa orang dari negeri Jiran beroperasi di sini, Noordin M Top, Dr. Azhari karena kalau di sana langsung ditangkap, di sini longgar UU-nya," tegas Wawan.

Dengan demikian, Wawan menilai banyak kelemahan dari UU Terorisme. Imbasnya, Indonesia sering menjadi sasaran dari teroris. Untuk itu, dia berharap rentetan aksi teror yang belakangan terjadi bisa menjadi dorongan agar revisi UU Terorisme bisa segera diselesaikan.

"Banyak UU kita ini mengandung kelemahan mendasar yang memungkinkan untuk terus diserang. Sekarang ini baru kita tersadar. Saya tidak menyalahkan siapa karena waktu itu ada euforia demokrasi dan seolah ingin sebebas-bebasnya," tandas Wawan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Fokus ke Penindakan

Gaya Densus 88 Antiteror Mabes Polri saat penangkapan terduga teroris di Jalan Gempol Raya, Kunciran Indah, Tangerang, Banten, Rabu (16/5). Petugas tampak menenteng senjata laras panjang dan menggunakan penutup wajah. (Merdeka.com/Istimewa)

Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai, Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tengah dibahas DPR dan pemerintah hanya fokus pada penindakan. Padahal, menurutnya, dalam mengatasi aksi terorisme yang diperlukan adalah tindakan pencegahan.

"Kalau kita lihat draf RUU itu banyak pada proses penindakan ada sekitar 14 pasal baru terkait penindakan, penahanan, penyadapan yang dilakukan oleh aparat penengak hukum," kata Kepala Divisi Pembelaan HAM KontraS Arif Nur Fikri dalam diskusi publik 'Ada Apa Dengan RUU Terorisme?'di PP PMKRI, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (19/5/2018).

Arif memaparkan, setidaknya ada empat hal yang bermasalah dalam pembahasan RUU Terorisme. Antara lain, dalam pembahasan itu DPR dan pemerintah tidak fokus pada penanggulangan keluarga para teroris.

 

Reporter: Renald Ghiffari

Sumber: Merdeka.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya