Liputan6.com, Jakarta - Satu per satu teman-teman les HA kembali ke rumah sang guru, Siti Muniroh. Rata-rata dengan ekspresi ketakutan setelah mendengar teror bom.
"Lho, di mana ada bom itu?" tanya Iro, sapaan Siti Muniroh, kepada para muridnya.
Advertisement
Bom yang dimaksud para murid Iro itu disita dari rumah kontrakan Dedy Sulistiantono yang kemudian di-disposal Densus 88. Dedy sendiri tewas ditembak karena, menurut polisi, melawan saat akan ditangkap pada Selasa, 15 Mei malam.
HA, anak bungsu Dedy, sama sekali tak tahu kehebohan tersebut berlangsung di rumahnya di kawasan Manukan Kulon, Surabaya. Dia bahkan sempat mengutuk pembuat bom itu.
Menurut Iro kepada Jawa Pos, HA berucap, "Lho, lek aku ketemu sing gawe bom, pasti tak injek-injek (kalau aku ketemu yang buat bom, pasti sudah aku injak-injak)."
Kemudian, datanglah sang kakak, DNS. Begitu melihat kakak sulungnya itu menangis, pecahlah juga tangis HA. Berdua mereka berpelukan, sembari ditenangkan Iro.
Barulah Iro tahu apa yang terjadi di rumah kakak-adik itu. Saat penangkapan yang akhirnya menewaskan sang ayah, DNS tengah berada di lantai 2 bersama adiknya yang lain, AISP. Sedangkan sang ibu diamankan Densus 88.
Rentetan bom dan penangkapan terduga teroris di Surabaya dan Sidoarjo pada Minggu, 13 Mei sampai Selasa 15 Mei tak hanya menimbulkan korban jiwa. Namun, juga meninggalkan anak-anak para pelaku pengeboman dan terduga teroris dalam kondisi trauma.
Saat ini, ada tujuh anak sedang dipulihkan psikolog Polda Jatim. Selain DNS, 14; AISP, 10; dan HA, 6; yang merupakan anak-anak Dedy alias Teguh, ada pula Ais, 8, putri pelaku teror bom Mapolrestabes Surabaya Tri Murtiono. Selain itu, AR, 15; FP, 11; dan GHA, 10; anak-anak Anton Ferdiantono, terduga teroris yang tewas di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan, anak-anak ini adalah korban. Termasuk Ais yang dilibatkan secara langsung dalam penyerangan di Mapolrestabes Surabaya pada Senin, 14 Mei 2018.
Saat bertemu dengan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, di Surabaya, Kamis 17 Mei lalu, KPAI merekomendasikan asesmen menyeluruh terhadap anak-anak tersebut beserta kerabatnya. Tidak tertutup pula kemungkinan negara mengambil alih pengasuhan anak-anak tersebut.
Ketua KPAI Susanto mengatakan, sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak, anak-anak itu perlu mendapat atensi khusus.
Selain kondisi psikologis, yang harus menjadi perhatian adalah orang-orang di sekitar mereka. Orang-orang tersebut ialah keluarga yang akan mengasuh anak-anak tersebut setelah orang tua mereka tewas. "Jangan sampai teralihkan ke orang yang terinfiltrasi radikalisme," ujar Susanto.
Trauma dan mungkin juga stigma bisa jadi masih menghantui ketiga anak Dedy.
Dedy merupakan adik kandung Anton. Menurut polisi, mereka merupakan bagian dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah. Di Surabaya, ketuanya adalah Dita Oepriarto yang mengajak istri dan keempat anaknya mengebom tiga gereja pada Minggu lalu.
Pada kejadian Selasa malam lalu itu, DNS mengaku bapaknya memang menyuruh dirinya dan si adik, AISP, agar tetap di lantai 2. Ketika petugas menghampiri mereka, DNS pun menanyakan keberadaan sang adik, HA.
"Om, adik kecilku mana?" tanya DNS.
Karena adiknya diketahui sedang les, diantarlah DNS oleh salah seorang petugas ke rumah Iro. Sedangkan AISP tetap di rumah.
Setelah lebih dari 30 menit di rumah Iro, petugas akhirnya membawa mereka berdua ke mobil. Mereka sempat tidak mau. Namun, karena dibujuk agar bisa ketemu sang ibu, akhirnya mereka berdua bersedia. Asalkan tetap didampingi Iro.
Saat keluar dari gang, mobil yang mereka tumpangi berhenti. AISP yang sebelumnya bersama petugas akhirnya disatukan dengan mereka di mobil. Mereka bertiga lagi-lagi menangis. Berangkulan mencari ibunya.
Di polda, mereka bertemu dengan sang paman, Adhi Hartono, yang biasa dipanggil Dodik. Dodik juga tinggal di Rusunawa Wonocolo, di lantai yang sama dengan si kakak, Anton, terduga teroris Sidoarjo. Hanya beda kamar.
Kepada polisi, juga kepada Dodik, Iro menerangkan, sehari-hari DNS, AISP, dan HA tidak bersekolah. Sama dengan anak-anak Anton yang tinggal di Rusunawa Wonocolo. "Saya juga pernah tanya ke ibu mereka kenapa tidak disekolahkan. Jawabannya karena biaya," Iro menerangkan.
KPAI merekomendasikan penilaian menyeluruh terhadap anak-anak itu. Mulai seberapa jauh pengenalan mereka terhadap ideologi orangtua, kondisi psikologis, kesehatan, hingga kerabat orangtua. Sebab, infiltrasi radikalisme melalui parenting merupakan sebuah pola baru.
Rehabilitasi Butuh Waktu
Bila masih trauma, harus ada rehabilitasi sampai tuntas meski membutuhkan waktu lama. Begitu pula pengasuhan, sangat bergantung hasil asesmen terhadap anak-anak itu dan keluarga di sekitarnya.
"Kalau ternyata (keluarga) enggak tepat untuk mengasuh, ya bisa saja mereka diasuh di lembaga yang tepat bagi perkembangan yang bersangkutan," lanjut Susanto.
Hanya, dia mengingatkan, pengasuhan oleh negara melalui lembaga yang ditunjuk merupakan pilihan terakhir. Semua dilakukan demi masa depan anak-anak tersebut. "Dinas Sosial punya hak untuk menentukan siapa yang mengasuh," dia menambahkan.
Sementara itu, Gubernur Jatim Soekarwo menyatakan, pihaknya akan memperhatikan masukan-masukan KPAI. Bukan hanya itu, ke depan, KPAI juga lebih sering dilibatkan dalam pencegahan parenting yang serupa. "Salah satunya melalui pelibatan KPAI dalam program-program Pemprov Jatim," dia menerangkan.
Tidak tertutup pula kemungkinan anak-anak tersebut diasuh Pemkot Surabaya. Kabag Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Pemkot Surabaya Imam Siswandi mengungkapkan, pihaknya berkoordinasi dengan RS Bhayangkara dan Polda Jatim, terutama untuk kasus AIS.
"Kami siap menampung mereka. Ada beberapa selter khusus untuk anak-anak yang ditinggal orang tuanya," tuturnya.
Baca berita menarik lainnya di Jawa Pos
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement