Liputan6.com, Jakarta - Rabu, 20 Mei 1998, suasana di gedung DPR/MPR, Senayan, tak seperti biasanya. Gedung kura-kura yang menjadi ikon simbol parlemen Indonesia itu telah dipenuhi ribuan mahasiswa dari berbagai daerah. Tujuannya satu, menuntut reformasi dilaksanakan. Termasuk, meminta Soeharto turun dari kursi presiden.
Sementara, di Istana Merdeka, sembilan tokoh diundang datang. Mereka adalah Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Nucholish Madjid, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja, dan Ma'aruf Amin. Yusril Ihza Mahendra juga hadir, meski tak diundang, karena diajak Nurcholish. Sebagai ahli tata negara, pikir Nurcholish, gagasan Yusril niscaya dibutuhkan.
Advertisement
Menjawab desakan mahasiswa, Soeharto bermaksud membentuk Komite Reformasi, yang hadir berdampingan dengan Kabinet Reformasi. Sembilan tokoh itu diundang untuk diminta menjadi anggota Komite Reformasi. Namun, tak ada yang bersedia.
Kepada Nurcholish atau Cak Nur, Soeharto meminta cendekiawan muslim itu menjadi ketua. Ditampik, lalu ditawar jadi anggota. Cak Nur tetap tak mau.
"Jika orang yang moderat seperti Cak Nur tak lagi mempercayai saya, maka sudah saatnya bagi saya untuk mundur," kata Soeharto kepada para undangan seperti dikutip Ahmad Gaus AF dalam Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner.
Di tempat lain, Rabu, 20 Mei pukul 17.00, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menyampaikan ke Wakil Presiden BJ Habibie melalui via telepon bahwa dirinya dan 13 menteri lain tak bersedia duduk di Kabinet Reformasi. Ginandjar Cs saat itu menjabat di Kabinet Pembangunan VII yang segera habis masa tugasnya.
"Apakah Anda sudah membicarakan dengan Bapak Presiden?" ujar Habibie seperti dikisahkannya dalam buku Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.
Ginandjar menjawab, "Belum, tapi keputusan tersebut sudah ditandatangani bersama sebagai hasil rapat kami di Bappenas dan sudah dilaporkan secara tertulis kepada Bapak Presiden, melalui Tutut, putri tertua Pak Harto."
Tak lama kemudian, Habibie menemui Soeharto untuk mengotak-atik personel Kabinet Reformasi yang diumumkan esok hari, 21 Mei. Di sana, Habibie diberitahu, Soeharto akan memanggil pimpinan DPR/MPR pada 23 Mei. Di pertemuan itu, Soeharto direncanakan mengajukan pengunduran diri. Habibie menggantikan dan memimpin Kabinet Reformasi.
Soeharto Tak Mau Bicara dengan Habibie
Pukul 21.45, Habibie memanggil empat Menteri Koordinator dan 14 Menteri Kabinet Pembangunan VII ke rumah dinasnya di Kuningan, Jakarta Selatan.
Pada rapat tersebut, Habibie meminta Ginandjar Cs membatalkan niat mereka mundur dari kabinet. Sempat terjadi perdebatan. Akhirnya, tulis Habibie, rapat memutuskan, "Susunan Kabinet Reformasi diterima sebagai kenyataan."
Usai rapat yang berlangsung sekitar satu jam, Habibie mengontak Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursjid, meminta bicara dengan Soeharto. Tapi, Soeharto ternyata menolak.
Saadillah hanya bilang, Jenderal Besar itu akan mengumumkan pengunduran diri pada 21 Mei pagi, bukan 23 Mei seperti direncanakan.
"Saya sangat terkejut dan meminta agar segera dapat berbicara dengan Pak Harto. Permintaan tersebut tidak dapat dikabulkan dan ajudan Presiden menyatakan akan diusahakan pertemuan empat mata dengan Pak Harto di Cendana besok pagi sebelum ke Istana Merdeka," tulis Habibie.
Pertemuan itu tak pernah terjadi. Pada 21 Mei pukul 09.00, di Ruang Credential Istana Merdeka, Soeharto menyatakan mundur.
Dalam pidato pengunduran diri, Soeharto antara lain menyatakan, "Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik."
Luqman Rimadi dan Yus Arianto
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement