Liputan6.com, Yogyakarta Gunung Merapi kembali mengeluarkan letusan freatik pada Senin (21/5/2018). Terhitung sudah tiga kali letusan freatik Merapi terjadi sejak Jumat, 11 Mei 2018.
Letusan freatik pada pekan lalu cukup menghebohkan. Pemberitaan dan informasi tentang Merapi meletus meluas. Hujan abu juga sempat mewarnai DIY kala itu.
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) DIY mencatat serangkaian letusan freatik Merapi yang pernah terjadi pasca erupsi 2010.
Baca Juga
Advertisement
"Letusan freatik 11 Mei bukan yang pertama kalinya, ini kali ketujuh pasca 2010," ujar Agus Budi Santoso, Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG DIY, Minggu (20/5/2018).
Letusan freatik pertama setelah 2010 terjadi pada 15 Juli 2012. Kemudian muncul lagi pada 22 Juli 2013, 18 November 2013, 10 Maret 2014, 24 Maret 2014, dan 20 April 2014.
Letusan freatik terbesar justru terjadi pada 18 November 2013 dengan radius satu kilometer dari puncak serta mengakibatkan kubah lava terbelah.
"Letusan freatik yang terjadi pada 11 Mei 2018 berdasarkan pemantauan CCTV kawah tidak begitu nampak perubahannya jika dibandingkan dengan 18 November 2013," kata Agus.
Aktivitas magmatik setelah 11 Mei masih tergolong normal. Gempa VT atau volcano-tectonic terjadi satu kali sehari menunjukan sifat dominan. Ini menjadi salah satu indikasi proses suplai magma belum mencapai kantong magma karena masih berada di dapur magma.
Ia mengatakan letusan freatik adalah gejala yang biasa terjadi setelah letusan besar. Meskipun demikian, ia tidak bisa memastikan kapan letusan freatik berakhir dan berubah menjadi letusan magmatik.
Melihat siklus Gunung Merapi, Agus hanya bisa memperkirakan erupsi selanjutnya bisa terjadi sembilan atau 11 tahun setelah erupsi 2010. Ia mengacu pada pola, termasuk letusan freatik yang terjadi pada 1930 atau 1872.
Letusan Freatik Sulit Diprediksi
Agus menjelaskan sejumlah alasan letusan freatik sulit diprediksi. Pertama, indikasinya tidak konsisten.
Beberapa letusan freatik didahului dengan hujan, namun ada pula yang tidak. Selain itu, nyaris tidak ada perubahan informasi menjelang erupsi freatik.
Kedua, standar pemantauan magmatik belum bisa mengakomodasi indikasi. BPPTKG mencoba mendekati permukaan kawah dengan memasang alat, sensor gas, kamera, dan kamera thermal.
"Lewat kamera thermal sempat ada perubahan gejala, tetapi baru muncul 15 menit sebelum erupsi freatik terjadi," ucapnya.
Waktu yang singkat membuat timnya sulit menginformasikan secara luas kepada masyarakat. Ia hanya mengabarkan kepada Taman Nasional Gunung Merapi.
"Itulah sebabnya jalur pendakian juga masih dibuka saat itu karena memang informasi yang masuk waktunya sudah mepet," tuturnya.
Advertisement