Liputan6.com, Jakarta Berdiri di depan Masjid Agung Al-Serkal yang megah dan luas, kita akan merasa tidak sedang berada di negara dengan komunitas muslim yang jumlahnya minoritas. Masjid yang bertempat di kawasan Boeng Kak di pusat Kota Phnom Penh, ibu kota Kamboja ini, seolah membawa kita ke negara Turki karena arsitekturnya yang bergaya khas Turki Usmani.
Masjid terbesar di Kamboja ini memang didirikan atas donasi seorang pebisnis sukses dari Uni Emirat Arab yang bernama Eisa bin Nasser bin Abdullatif Asserkal. Pembangunan masjid tersebut menghabiskan dana sebesar 2,9 juta dolar Amerika. Sebanyak 2,5 juta dolar dikucurkan oleh Eisa bin Nasser bin Abdullatif Asserkal. Sisanya sebanyak 400 ribu dolar merupakan sumbangan dari pemerintah Kamboja sebagai bentuk kepedulian mereka kepada komunitas muslim di negara tersebut.
Advertisement
Pembangunan masjid memerlukan waktu selama 18 bulan dengan melibatkan tim ahli dari Uni Emirat Arab. Mereka secara khusus didatangkan dari UEA dan ikut menangani proses pembangunan masjid secara langsung. Gaya arsitektur Masjid Agung Al-Serkal didominasi warna putih dengan kubah besar di tengah diapit oleh dua menara di kedua sisinya. Masjid ini juga dilengkapi dengan kamar mandi, tempat wudu, dan halaman yang asri dan luas. Tidak jauh dari kompleks masjid, terdapat kios-kios yang menjajakan makanan halal.
Resmi Berdiri 2015
Masjid Agung Al-Serkal diresmikan oleh Perdana Menteri Kamboja Hun Sen pada 27 Maret 2015. Upacara peresmiannya dilakukan dengan sangat meriah dan semarak. Tidak kurang dari seribu jemaah memadati areal masjid.
Saat mengunjungi Masjid Agung Al-Serkal beberapa waktu yang lalu, tim Liputan6.com berkesempatan melakukan salat Asar berjemaah di sana. Berbeda dengan di Indonesia, suara azan yang menandakan masuknya waktu salat tidak dilantunkan dengan speaker yang kencang dan terdengar ke seluruh penjuru. Suara azan di Masjid Agung Al-Serkel hanya dilantunkan dengan speaker yang hanya terdengar di dalam ruangan masjid.
Advertisement
Islam dan Toleransi
Ruangan masjid yang luas hanya diisi oleh beberapa anggota jemaah yang bisa dihitung dengan jari. Di ruangan jemaah wanita pun, hanya terlihat empat orang wanita yang melaksanakan salat dengan memakai mukena seperti mukena yang biasa kita kenakan di Indonesia. Kami juga sempat bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis muslim Kamboja bernama Faziyya Zakaria. Keterbatasan bahasa tidak menghalangi kami untuk berkomunikasi.
Faziyya merupakan warga asli Kamboja yang berasal dari etnis muslim Champa. Ia mengaku hampir semua keluarganya menganut agama Islam dan ia sendiri telah muslim sejak lahir. Ia memutuskan berjilbab sejak remaja dan sempat mendapat beasiswa untuk belajar mengenai kepariwisataan di Turki selama 1 tahun. Kini ia berprofesi sebagai fotografer dan guide bagi pelancong muslim yang mengunjungi negaranya.
Islam memang lambat laun mulai menggeliat di negara yang pernah mengalami trauma akibat pembantaian massal tersebut. Hampir separuh penduduk Kamboja termasuk etnis Champa yang beragama muslim menjadi korban pembantaian selama berkuasanya rezim Pol Pot yang biadab dan keji.
Saat ini meskipun menjadi penduduk minoritas, umat muslim di Kamboja tidak segan menampakkan keislamannya. Menurut Faziyya, ia sendiri merasa bebas menjalankan ibadah dan mengenakan jilbab tanpa ada intimidasi dari pemerintah atau dari siapa pun. Toleransi benar-benar dijalankan di negara tersebut. Keberadaan Masjid Agung Al-Serkal yang megah di pusat kota Phnom Penh telah menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Selain itu juga menambah ghirah bagi umat muslim di Kamboja.
Simak juga video menarik berikut ini: