Liputan6.com, Pyongyang - Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dilaporkan tengah khawatir tentang konferensi tingkat tinggi (KTT) yang mempertemukannya dengan Presiden AS Donald Trump di Singapura bulan depan, The Washington Post melaporkan Selasa 22 Mei 2018, mengutip narasumber yang akrab dengan perhelatan itu.
Menurut laporan, Kim Jong-un kurang peduli soal pertemuan dengan Trump. Ia justru lebih mengkhawatirkan tentang apa yang mungkin terjadi di Pyongyang saat ia pergi menghadiri KTT.
Laporan itu juga menyebut, Kim Jong-un cemas bahwa perjalanan ke Singapura dapat membuat rezimnya rentan terhadap kudeta militer atau figur oposisi mencoba untuk menggulingkannya. Demikian kata narasumber yang anonim kepada The Post, seperti dikutip dari Business Insider Singapore (23/5/2018).
Baca Juga
Advertisement
Kabar tentang kekhawatiran itu muncul ketika Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan penasihat kepresidenan AS John Bolton menyebut soal rencana AS yang menginginkan denuklirisasi yang cepat di Korea Utara.
Bahkan, beberapa pekan lalu, Bolton mengatakan akan menerapkan 'model Libya' pada rezim Kim Jong-un dan Korea Utara untuk mencapai tujuan AS soal denuklirisasi di Semenanjung. Trump menginterpretasikan maksud Bolton sebagai intervensi NATO dan Barat terhadap rezim Khadafi pada tahun 2011.
Pada tahun itu, NATO mendukung dan membantu kelompok oposisi yang berusaha untuk menggulingkan Khadafi. Pada akhirnya, Khadafi berhasil digulingkan dan tewas di tangan pemberontak di Tripoli.
Kendati demikian, Trump pada Selasa 22 Mei kemarin mengatakan akan berusaha meyakinkan Kim Jong-un bahwa ia akan tetap berkuasa di Korea Utara, sebagai ganti atas kesepakatannya untuk denuklirisasi dan perlucutan senjata nuklir.
"Saya akan menjamin keselamatannya," kata Trump. "Dia akan aman, dia akan bahagia, negaranya akan kaya, negaranya akan makmur."
Dinasti keluarga Kim telah memerintah Korea Utara sejak berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953.
Desas-desus tentang pemberontakan militer di Korea Utara, kata para ahli, adalah alasan yang mendorong Kim semakin kuat mencengkeram kekuasaan selama bertahun-tahun.
"Gagasan bahwa Kim aman dalam kekuasaannya pada dasarnya salah," Victor Cha, mantan direktur urusan Asia untuk Dewan Keamanan Nasional selama pemerintahan George W. Bush, menulis dalam kolom opini pada 2014, seperti dikutip dari The Business Insider Singapore.
"Diktator mungkin menggunakan kekuatan ekstrim dan kejam seperti Kim, tetapi mereka juga secara patologis tidak percaya diri tentang cengkeraman kekuasaan mereka," kata Cha.
"Semua spekulasi publik tentang kudeta akan memberi makan impuls paranoid seorang diktator untuk memperbaiki persepsi itu secepat mungkin, bahkan jika itu salah tempat atau tak tepat waktu."
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Trump: KTT Terancam Batal
Donald Trump juga menyatakan beberapa keraguan tentang KTT setelah Korea Utara mengutarakan ketidaksepakatannya atas 'langkah unilateral AS yang memaksakan denuklirisasi'.
Korea Utara juga kembali mengutarakan retorika agresif menyusul langkah pasukan AS dan Korea Selatan kembali melakukan latihan militer bersama rutin di Semenanjung Korea.
Pyongyang juga menilai komentar agresif dari penasihat keamanan nasional AS John Bolton tentang 'model Libya' sebagai ancaman potensial.
Menyikapi perkembangan dinamika tersebut, Trump saat menjamu Presiden Moon Jae-in di Gedung Puti pada 22 Mei mengatakan, "Ada kemungkinan yang sangat besar bahwa KTT itu tidak akan berhasil."
"Itu tidak berarti bahwa itu tidak akan berhasil dalam jangka waktu tertentu, tetapi mungkin tidak berhasil untuk 12 Juni nanti," katanya.
Meskipun ikut ragu, Presiden Moon Jae-in tetap optimis selama konferensi pers di Gedung Putih.
"Terima kasih atas visi Anda untuk mencapai perdamaian melalui kekuatan, serta kepemimpinan Anda yang kuat, kami menantikan KTT AS-Korea Utara pertama," kata Moon dalam pernyataan pembukaan kepada Trump.
"Dan kita menemukan diri kita berdiri satu langkah lebih dekat dengan impian mencapai denuklirisasi lengkap di Semenanjung Korea dan perdamaian dunia."
Advertisement