Liputan6.com, Naypyidaw - Amnesty International mengatakan, memiliki bukti bahwa kelompok bersenjata, Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), menewaskan puluhan warga Hindu di negara bagian Rakhine, Myanmar, tahun lalu.
Dalam laporan yang dirilis pada hari Selasa, kelompok HAM global tersebut mengungkapkan bahwa ARSA menangkap dan membunuh lebih dari 90 warga sipil Hindu pada 25 Agustus 2017. Demikian seperti dikutip dari Al Jazeera pada Rabu, (23/5/2018).
Advertisement
Pembunuhan di kota Maungdaw terjadi pada hari yang sama ketika ARSA melancarkan serangan terhadap sekitar 30 pos keamanan di Rakhine, kata Amnesty International.
Serangan-serangan tersebut telah memicu penumpasan brutal yang dilakukan militer Myanmar, yang memaksa hampir 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Pengungsi Rohingya mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar membunuh dan memerkosa ratusan orang, serta membakar rumah-rumah -- oleh PBB, tindakan ini dilabeli pembersihan etnis.
Warga Rohingya telah lama ditolak kewarganegaraannya di Myanmar. Selain itu, mereka mengeluhkan penganiayaan di negeri mayoritas Buddha tersebut.
Sementara dugaan kejahatan terhadap warga Rohingya telah didokumentasikan secara luas, laporan teranyar Amnesty International merupakan penelitian pertama atas pelanggaran yang dilakukan oleh ARSA.
Tirana Hassan, direktur penanggulangan krisis di Amnesty International mengatakan bahwa para pelaku pembunuhan harus dimintai pertanggungjawabannya.
"Sulit untuk mengabaikan kebrutalan ARSA, yang telah meninggalkan jejak tak terhapuskan pada para penyintas yang telah kami ajak berkomunikasi," kata Amnesty International lewat sebuah pernyataan.
"Akuntabilitas atas kekejaman ini sama pentingnya dengan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar di utara negara bagian Rakhine."
Militer Myanmar sebelumnya menuduh kelompok ARSA membunuh warga sipil Hindu. Namun, tudingan ini dibantah oleh ARSA dengan mengatakan, "menyangkal bahwa setiap anggota kami melakukan pembunuhan, kekerasan seksual, atau perekrutan paksa."
Pembunuhan di Maungdaw
Mengutip kesaksian dari para penyintas dan saksi, Amnesty International mengatakan bahwa anggota kelompok ARSA yang bertopeng menangkap 69 pria, wanita dan anak-anak Hindu di desa Ah Nauk Kha Maung Seik dan menewaskan 53 di antaranya. Peristiwa itu terjadi pada 25 Agustus 2017, sekitar pukul 08.00 waktu setempat.
Korban termasuk 23 anak --14 di antaranya berusia di bawah delapan tahun-- 10 wanita dan 20 pria. Hanya 16 orang, yang terdiri dari delapan wanita dan delapan anak-anak yang selamat.
Orang-orang yang selamat, yang dibawa ke Bangladesh, menceritakan kepada Amnesty International bahwa mereka dibebaskan setelah berjanji untuk masuk Islam.
Menggambarkan serangan itu, Bina Bala, 22, seorang penyintas, mengatakan pada Amnesty International, "(Sejumlah pria) memegang pisau dan batang besi panjang. Mereka mengikat tangan kami di belakang punggung dan menutup mata kami."
"Aku bertanya apa yang mereka lakukan. Salah satu dari mereka menjawab, 'Kamu dan (etnis) Rakhine sama, kamu memiliki agama yang berbeda, kamu tidak bisa tinggal di sini'."
Beberapa wanita pada awalnya mengatakan kepada wartawan di Bangladesh bahwa etnis Rakhine Buddha bertanggung jawab atas pembunuhan warga Hindu, tetapi kemudian mereka menarik kembali ceritanya dan menyalahkan kelompok ARSA sebagai gantinya.
Amnesty International mengaitkan inkonsistensi itu sebagai sebuah "tekanan dan ancaman terhadap keselamatan pribadi yang mereka hadapi ketika berada di Bangladesh".
Pasukan keamanan Myanmar menemukan 45 mayat dari Ah Nauk Kha Maung Seik di empat kuburan massal di lokasi pembunuhan pada bulan September.
Juga pada 25 Agustus, 46 pria, wanita, dan anak-anak Hindu di desa tetangga Ye Bauk Kyar menghilang dan diduga dibunuh oleh kelompok ARSA, meskipun mayat mereka belum ditemukan.
Amnesty International juga mengatakan bahwa kelompok ARSA terlibat dalam pembunuhan enam orang Hindu pada 26 Agustus tahun lalu di dekat desa Myo Thu Gyi.
"Pemerintah Myanmar harus mengizinkan penyelidik independen, termasuk misi pencarian fakta PBB, akses ke Rakhine untuk mengungkap sepenuhnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di sana," tegas Amnesty International.
Advertisement