Liputan6.com, Jakarta - Komnas Perempuan menilai, penyematan kata pelaku kepada perempuan dalam aksi terorisme di Surabaya, Jawa Timur perlu dicermati lebih lanjut. Sebab, sang istri pelaku dan anak-anaknya yang dilibatkan merupakan korban indoktrinasi oleh kepala keluarga atau sang ayah.
"Kalau merespons pengeboman kemarin, perempuan menjadi dalam tanda kutip pelaku, harus agak cermat," kata Komisioner Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah di Hotel Grand Sahid, Jakarta Selatan, Rabu (23/5/2018).
Advertisement
Itu karena dari hasil konsultasi Komnas Perempuan dengan penggiat isu-isu terorisme, ada sejumlah alasan keterlibatan perempuan. Pertama, doktrin kepatuhan.
Menurutnya, hierarki gender ikut berperan dalam keterlibatan istri dalam aksi teror yang dijalankan suami. Perempuan dalam relasi ini ditempatkan di bawah laki-laki, yang tidak mau harus patuh.
Selain itu, pandangan teologis yang dianut, menginginkan bahwa mereka harus masuk surga bersama-sama.
Selain itu Komnas Perempuan juga menduga, anak dan istri dilibatkan agar mereka tidak terlantar pascabom bunuh diri. Namun, hal tersebut menurut Yuniyanti perlu dianalisis lebih lanjut.
"Bahwa kenapa sepaket dengan keluarga karena biar tidak atau meminimalisasi anak ditinggalkan sehingga anak terlantar. Gitu ya sehingga itu dalam analisis kami tapi itu harus dicek lebih jauh," ucapnya.
Bom Surabaya
Dalam dua kasus bom bunuh diri di Surabaya beberapa waktu lalu, satu keluarga dilibatkan dalam aksi. Dalam serangan tiga gereja, sang istri dan dua anaknya dibekali bom untuk meledakkan diri di gereja.
Satu keluarga tersebut adalah pasangan suami istri, yakni Dita Oepriarto dan Puji Kuswanti, serta empat anaknya yang terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan. Empat anak Dita masih bersekolah: satu masih di jenjang SMA, satu SMP, dan dua jenjang SD.
Lalu, dalam penyerangan Mapolrestabes Surabaya, satu keluarga berboncengan dengan dua sepeda menerobos penjagaan markas kepolisian dan meledakkan diri.
Reporter: Ahda Bayhaqi
Sumber: Merdeka.com
Advertisement