Liputan6.com, Wellington - Tato wajah telah menjadi bagian dari budaya suku Maori -- penduduk asli Selandia Baru -- selama berabad-abad, yakni sebagai penanda suci dari silsilah masyarakat setempat.
Namun, ketika seorang wanita kulit putih bernama Sally Anderson mengaplikasikan tato tersebut pada dagunya, muncul pro dan kontra di tengah warga Selandia Baru.
Dikutip dari BBC pada Kamis (24/5/2018), Anderson yang menikahi seorang pria dari suku Maori menyebut tato di dagunya, atau biasa disebut "moko", melambangkan perjuangan hidupnya selama ini, termasuk tentang tragedi pemerkosaan massal yang menimpanya di masa muda.
Berkebalikan dengan apa yang diyakininya, beberapa pihak justru menuding Anderson sengaja menerapkan tradisi moko untuk kepentingan pribadi.
Moko merupakan bagian dari seni rajah khas suku Maori, yang juga berperan sebagai sebuah tradisi suci. Moko diukir di kulit wajah menggunakan pahat arang khusus, yang menunjukkan hubungan seseorang dengan keluarga dan identitas budaya mereka.
Baca Juga
Advertisement
Tato wajah, atau moko kauae, juga dianggap sangat penting bagi penduduk asli Selandia Baru, di mana biasanya menutupi seluruh wajah untuk pria, dan hanya bagian dagu untuk wanita.
"Maori menganggap wajah atau kepala itu sangat sakral," kata Mera Lee-Penehira, profesor di Institut Te Share Wananga o Awanuiārangi.
Anderson, yang menjalankan bisnis pembinaan kehidupan (life coaching), memiliki moko kauae yang didapatkan beberapa tahun lalu oleh seorang seniman Maori.
Melalui desain sederhana, wanita berambut priang itu ingin menjadikan tato tersebut sebagai pengingat terhadap berbagai perjuangan hidup yang telah dilewatinya.
Menurut Inia Taylor, salah seorang seniman tato yang kontra terhadap keputusan Anderson bahwa satu-satunya alasan penolakan keras oleh masyarakat Maori adalah karena persoalan ras.
Ditambah lagi, menurutnya, Anderson disebut sengaja memanfaatkan tato tersebut sebagai nilai jual terhadap bisnis yang dikelolanya di Selandia Baru.
Simak video pilihan berikut:
Disambut Pro dan Kontra
Sementara itu, menurut Te Kahautu Maxwell, seorang guru besar di University of Waikato -- yang juga bertato di wajahnya -- mengatakan bahwa moko telah menjadi simbol penting pasca-kolonialisme.
"Ini adalah tradisi yang hampir usang karena kolonisasi dan praktik misionaris," katanya kepada BBC.
Baru sejak akhir abad ke-20, terjadi kebangkitan besar dalam mengaplikasikan tradisi moko, baik untuk pria maupun wanita.
"Adalah Maori yang memutuskan untuk merebut kembali warisan dan identitas mereka," kata Maxwell.
"Kita harus melindungi benteng terakhir yang kita miliki sebagai Maori, untuk membuat kita berbeda."
Namun, salah satu pemimpin komunitas Maori, David Rankin, mengatakan bahwa dirinya tidak keberatan dengan apa yang dilakukan oleh Anderson.
"Dia membayar untuk itu (tato moko), dan dirajah di wajahnya sendiri, dan jangan lupa juga bahwa ia bersuamikan orang Maori. Saya pikir ada hak kecil untuknya," jelas prof Maxwell.
Maxwell mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Anderson, merupakan tantangan bagi keturunan Maori untuk melestarikan kembali tradisi moko.
"Sebagai seorang pemakai (tradisi moko), saya kerap dipandang rendah meskipun saya adalah seorang profesor di sebuah universitas," katanya.
"Masyarakat non-Maori melihat saya di supermarket seraya tertawa, dan anak-anak mereka mengatakan 'ibu, lelaki itu kelihatan lucu'. Saya pikir, hal tersebut adalah tantangan yang harus dihadapi agar tradisi moko tidak lenyap,” lanjut Maxwell berpendapat.
Di sisi lain, Anderson belum berkomentar sedikit pun tentang kontroversi yang menyerangnya.
Sang suami, Roger Te Tai, yang merupakan keturunan Mori dengan moko penuh di wajah, mengatakan kepada acara televisi Te Karere bahwa Anderson butuh waktu beberapa lama sebelum memantapkan diri untuk merajah dagunya.
Advertisement