Liputan6.com, Garut - Buat warga Garut, Jawa Barat, sosok KH Mustofa Kamil adalah cerminan masyarakat sehari-hari. Ulama sekaligus tokoh pejuang kemerdekaan ini, memiliki pembawaan kalem, tegas, santun melayani masyarakat, tapi bak singa menghadapi penjajah Belanda saat itu.
Dilahirkan 5 Agustus 1884 di Kampung Bojong, Kecamatan Pasirwangi, Garut, ulama pejuang yang satu ini, merupakan keturunan Syeh Syarif Hidayatulloh, salah seorang waliyulloh asal Cirebon yang mengislamkan masyarakat Jawa Barat.
"Ada tiga hal yang selalu bapak ajarkan, tauhid, ilmu dan siasat atau politik, karena itu pedoman hidup," ujar KH Kamil, putra bungsu sang kiai, membuka pembicarannya saat ditemui Liputan6.com, kemarin.
Dia memiliki panggilan kecil Muhammad Lahuri. Lahir dari pasangan KH Muhammad Jafar Sidiq dan Hj Siti Habibah, sang kiai mendapatkan ilmu dari gemblengan pesantren tradisional yang menjadi satu-satunya lembaga pendidikan saat itu.
Tercatat beberapa pesantren di wilayah Garut, Cirebon, Kuningan, hingga Jombang, Jawa Timur yang diasuh langsung pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari, pernah ia dalami. "Terakhir dan paling lama tentu belajar di Masjidil Haram Mekah," kata Kamil.
Baca Juga
Advertisement
Kenyang dengan ilmu agama dan pengetahuan umum dari Mekah, akhirnya ia memutuskan kembali ke tanah air saat penjajahan Belanda berkecambuk. Dari sanalah, awal mula perjuangan merebut kemerdekaan dimulai.
Mula-mula sang kiai mengajar pengajian dan kegiatan agama lainnya di Masjid Agung Garut yang berada di Alun-Alun, tetapi isi pengajiannya yang dianggap berseberangan dengan pemerintahan Belanda, menyebabkan Bupati Garut saat itu Raden Surya Karta Legawa, marah.
KH Mustofa Kamil dilarang menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, hingga larangan menyampaikan isi materi soal perjuangan kemerdekaan. "Pokoknya kalau ngomong-ngomong merdeka, siap-siap dipenjara," ujar dia mengenang cerita dari ibunya.
Namun, hal itu justru semakin membuat kiai marah, ia akhirnya menanggalkan seluruh aktivitas kegiatannya di masjid buatan Belanda itu, dan membuat masjid baru hasil patungan warga. "Nah, ini akhirnya kami namakan Masjid Perjuangan Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia Al Musthafa," cerita Kamil bangga.
Pola dakwahnya dengan menerjemahkan langsung Alquran dan kitab kuning (istilah kitab buat kalangan pesantren) ke dalam bahasa Indonesia dan Sunda, membuat simpati warga, tak jarang dalam setiap pengajiannya, ratusan warga selalu memenuhi ruangan.
"Ada yang sengaja dari luar kecamatan datang hanya untuk mengikuti pengajiannya bapak," kata dia.
Tak pelak, dengan cara itu kedaulatan Belanda pun terancam, hingga akhirnya geram. Puluhan kali ia masuk penjara merasakan dinginnya jeruji besi, meskipun tidak menghentikan langkahnya memperjuangan kemerdekaan Indonesia.
"Biasanya kalau lagi genting, sepulang mengajar ngaji bukannya pulang ke rumah, tapi dijemput ke penjara," ujar Kamil membeberkan keberanian bapaknya itu.
Propaganda Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
Selain membuat propaganda perjuangan melalui pengajian yang ia lakukan, perjuangan lain yang dilakukan sang kiai adalah bergabung dengan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Partai pertama sekaligus terbesar saat itu, mampu menyalurkan dahaga perjuangannya dalam membebaskan penjajahan. "Kebetulan di PSII, bapak sebagai bagian propagandanya, makanya diincar terus," kata dia.
Dengan kelihaiannya itu, tercatat dalam sejarah, ia berhasil membuat hingga 15 kring atau ranting cabang yang berada di kecamatan, yang kelak ia gunakan sebagai sarana menyampaikan informasi perjuangan kemerdekaan kepada seluruh masyarakat Garut.
"Setiap ke daerah (ranting) pasti Belanda awasi, tapi warga yang didatangi langsung menyembunyikannya, karena mereka tahu perjuangan bapak benar," kata dia.
Puncaknya ketika seruan orasi kemerdekaan yang disampaikan Bung Tomo di Surabaya langsung memanggil jiwanya untuk bergabung dengan pejuang lainnya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. "Pesan singkat bapak kepada santrinya jaga masjid ini dan tetap berjuang," ujar dia.
Advertisement
Jalan Terjal Menjadi Pahlawan Nasional
Melihat kiprahnya dalam mencerdaskan masyarakat melalui pengajian, serta perjuangannya mengangkat senjata secara langsung bertempur dengan penjajah Belanda, Kamil pun berharap ayahnya layak mendapatkan gelar pahlawan nasional.
Terutama, melihat kiprah KH Mustafa Kamil dalam mencerdaskan masyarakat melalui pengajian, serta perjuangannya mengangkat senjata secara langsung bertempur dengan penjajah Belanda.
"Dulu pernah dibahas bareng RAA Lasminingrat (calon pahlawan literasi perempuan dari Garut), tapi sekarang enggak tahu bagaimana nasibnya," kata dia.
Menurut dia, pengorbanan sang kiai dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sangat besar. Bahkan, beberapa data sejarah mencatat nama KH Mustafa Kamil sebagai korban dalam pertempuran 10 November 1945.
"Saya juga mendapat foto ayah dari surat kabar terbitan Belanda," kata dia sambil menunjukkan foto besar yang menghiasai ruang utama di salah satu sudut Masjid Perjuangan itu.
Ia berharap, dengan besarnya pengorbanan yang diberikan bagi Indonesia, nama KH Mustofa Kamil bisa diangkat menjadi pahlawan nasional. Dengan demikian, mampu memberikan kebanggaan bagi masyarakat Garut.
"Semoga saja perjuangannya (proses pahlawan) tidak sampai di sini, kami memiliki banyak bukti keterlibatan beliau dalam perjuangan melawan Belanda," ucapnya.
Simak video pilihan berikut ini: