Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dan negara lain tengah dihadapkan pada ketidakpastian, salah satunya berasal dari kebijakan pemerintah maupun Bank Sentral Amerika Serikat (AS) yang memicu volatilitas atau gejolak ekonomi dunia. Korbannya adalah pelemahan nilai tukar mata uang negara-negara maju dan berkembang, termasuk kurs rupiah terhadap dolar AS.
Direktur Utama Mandiri Sekuritas Silvano Rumantir menilai, Indonesia dan negara lain harus mampu dan cepat beradaptasi dengan kebijakan-kebijakan kontroversial Presiden AS Donald Trump.
"Kita harus menyesuaikan diri selama Trump jadi Presiden. Volatility is here to stay, dan suka tidak suka sumber utama volatilitas dari AS," kata dia ditulis, Sabtu (26/5/2018).
Baca Juga
Advertisement
Efeknya, kata Silvano, menghantam kurs mata uang, obligasi dan pasar saham. Kondisi ini menjerat hampir seluruh negara, tak terkecuali Indonesia. Ini merupakan fenomena global, bukan cuma Indonesia yang terkena dampaknya.
"Apalagi Trump batalkan pertemuan dengan (pimpinan) Korea Utara. Padahal setelah beberapa konsensi yang diminta AS diberikan, ternyata dia malah batalkan. Sentimen seperti ini tidak bisa kita cuekin," ia menjelaskan.
Beruntung, menurutnya, dalam dua hari terakhir, investor asing mencatatkan pembelian di pasar saham meski secara year to date masih membukukan penjualan.
"Secara umum pemulihan pasar sudah mulai terlihat. Tapi akibat kondisi tersebut (Trump batalkan pertemuan), pasar saham AS pertumbuhannya agak soft, sehingga emerging market kebagian bagusnya," jelas Silvano.
Pro Pasar
Di sisi lain, ia menjelaskan, Bank Indonesia (BI) memberikan sinyal pro pasar dengan menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin. Perkara apakah dosis ini cukup atau tidak, Silvano bilang, BI sudah menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan adanya penyesuaian kembali 7 Day Reverse Repo Rate apabila dibutuhkan.
Dia optimistis kondisi pasar di semester II lebih baik karena dorongan dari pesta demokrasi di daerah atau pilkada di Juni sehingga mampu menggerakkan ekonomi nasional. Namun yang perlu diwaspadai juga adalah volatilitas karena Trump masih akan berlanjut.
"Volatilitas karena Trump masih kontinyu, tapi ini jangan dianggap sebagai negatif, tapi harus disikapi dengan kebijakan yang tepat. Mudah-mudahan membaik di semester II karena volatilitas pilkada juga usai," paparnya.
Dukungan lainnya, diakui Silvano, rencana kenaikan Fed Fund Rate sudah diantisipasi pelaku pasar. Setelah FOMC bulan depan, pada Juli-Agustus ada momen investor AS dan Eropa libur musim panas sehingga berkurang aksi korporasi global, seperti penerbitan obligaasi global maupun Innitial Public Offering (IPO) skala besar.
"Jadi dengan sudah tidak adanya faktor Pilkada, The Fed sudah naikkan suku bunga acuan sesuai ekspektasi di Juni, jadi market mulai tenang di semester II. Tapi namanya market pasti akan ada pergerakan, apalagi 2019 pemilu Presiden RI," tandas Silvano.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement