Pesan Keberagaman di Balik Masjid Unik Berarsitektur Pagoda

Kunikan ini bisa ditelusuri dari muasal pembangunan Masjid Muhammad Cheng Hoo yang diinisiasi oleh seorang mualaf beretnis Tionghoa yang tergabung dalam PITI Purbalingga

oleh Galoeh WiduraMuhamad Ridlo diperbarui 26 Mei 2018, 22:40 WIB
Masjid unik berbentuk mirip Pagoda di Desa Salaganggeng Kecamatan Mrebet, Purbalingga, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Galoeh Widura/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purbalingga - Sepintas lalu, masjid unik di Desa Salaganggeng Kecamatan Mrebet, Purbalingga, Jawa Tengah, ini lebih tampak seperti rumah ibadah umat Konghucu, Kelenteng atau umat Buddha, pagoda.

Desain dan warna bangunannya lebih dominan merujuk pada bangunan-bangunan khas Tiongkok. Tak ada kubah bulat dan menara tinggi yang mencirikan bangunan masjid pada umumnya.

Atap masjid unik ini dibuat tiga tingkat dengan nuansa bangunan-bangunan khas Tiongkok yang kental. Ujung atap dibuat melengkung layaknya kepala naga.

Tembok putih berpadu dengan pilar-pilar berwarna merah menyiratkan nuansa etnik Tiongkok, sekaligus Indonesia. Perpaduan simbol warna juga tampak pada atapnya yang dominan tiga warna, hijau, merah dan keemasan.

Hijau, lebih mewakili warna bernuansa Islami. Adapun merah, lebih berkiblat pada warna-warna budaya Tiongkok. Warna kuning keemasan, adalah warna yang menyiratkan simbol kejayaan keduanya.

Tiap lubang angin dan jendela berbentuk persegi delapan, dengan kaca di tengah bewarna hitam dan keliling merah kuning. Beberapa lampion khas Tiongkok menghiasi serambi dan ruang dalam masjid.

Plafon atau langit-langit masjid juga menonjolkan ciri arsitektur Tiongkok berbentuk persegi delapan. Lafadz Allah yang tertulis dengan seni kaligrafi dibuat mirip huruf Hanzi melengkapi keindahan langit-langit masjid unik ini.


Gaung Pesan Toleransi Masjid Cheng Hoo Purbalingga

Warga beristirahat dan berfoto-foto di depan pintu utama Masjid Muhammad Cheng Hoo, Purbalingga. (Foto: Liputan6.com/Dinkominfo PBG/Muhamad Ridlo)

Penegasan bahwa bangunan ini adalah tempat ibadah umat muslim berada di halaman masjid. Tertulis dalam huruf-huruf besar, namanya adalah Masjid Muhammad Cheng Hoo. Di pintu utama masjid, juga terpasang plang bertuliskan Masjid Muhammad Cheng Hoo dengan huruf Hanzi di bawahnya.

Dalam sejarah Tiongkok pada masa Dinasti Ming, Cheng Hoo, acap disebut pertama kali. Dalam beberapa literatur, Cheng Hoo digambarkan sebagai laksamana laut yang tangguh, sekaligus seorang dai yang lembut. Ia beberapa kali singgah di Nusantara dan menyebarkan pengaruhnya.

Keberadaan masjid bernuansa Tiongkok di kawasan penduduk mayoritas suku Jawa tentu menimbulkan tanya. Takmir masjid dan imamnya pun kebanyakan berasal dari warga setempat yang bersuku Jawa.

Kebanyakan jamaahnya pun beretnis Jawa, dan tentu para musafir yang tengah menempuh perjalanan. Pasalnya, masjid ini terletak di jalur utama antara Purbalingga-Pemalang.

Kunikan ini bisa ditelusuri dari pembangunan Masjid Muhammad Cheng Hoo yang diinisiasi oleh seorang mualaf beretnis Tionghoa yang tergabung dalam Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Purbalingga.

“Didirikan oleh muslim keturunan Tionghoa. Masjid ini terbuka untuk umum,” kata Suwarno, salah satu imam di Masjid Cheng Hoo.

Suwarno beretnis Jawa. Tetapi dia ditunjuk menjadi salah satu sekaligus Takmir masjid unik ini.

Ia berkisah, Lahan tempat berdiri masjid pada mulanya adalah rawa yang tak terurus. Lantas, seorang mualaf asal Bobotsari, Purbalingga, Hery Susetyo dan lembaga PITI meminta izin kepada warga untuk mendirikan masjid.

Mereka pun bersepakat untuk menjunjung tinggi toleransi dan menonjolkan pesan keberagaman pada arsitektur masjid ini. Masjid dibangun dengan menggabungkan arsitektur Islam, Tiongkok dan Jawa atau Indonesia.

“Warga mendukung dan tidak mempersoalkan bentuk masjid karena dianggap fungsinya sama. Keberadaan masjid Cheng Hoo justru bisa memersatukan umat Islam tanpa sekat SARA,” dia berujar.


Masjid Cheng Hoo, Rest Area hingga Wisata Religi

Rest area atau tempat beristirahat disiapkan untuk para pelancong maupun pemudik pada masa lebaran. (Foto: Liputan6.com/ Dinkominfo PBG/Muhamad Ridlo)

Inisiator pendirian masjid, Herry Susetyo menceritakan, pembangunan masjid sebenarnya dimulai tahun 2005. Tetapi, lantaran keterbatasan dana, masjid baru siap digunakan di tahun 2011 lalu.

Sejak awal pendirian, pesan toleransi dan keberagaman memang ditonjolkan. Itu dapat dibuktikan dengan arsitektur bangunan yang merupakan perpaduan lintas etnik dan bisa digunakan oleh masyarakat umum.

Arsitektur Masjid Cheng Hoo Purbalingga mengadopsi bentuk Masjid Cheng Hoo Surabaya. Namun, ada sejumlah modifikasi di dalamnya.

“Bila di Surabaya, Masjid Cheng Hoo berbentuk segi empat, di Purbalingga berbentuk hexagonal atau segi delapan,” kata Herry, yang juga Ketua DPD PITI Purbalingga.

Masjid Cheng Hoo yang terletak di Desa Selaganggeng, Purbalingga, ini pun cukup mudah diakses lantaran hanya sekitar 8,5 kiloemter dari Alun-alun kota Purbalingga. Letaknya pun strategis, berada di pinggir jalan utama antara Purbalingga menuju Pemalang.

Sebab itu, pada Ramadan atau saat musim mudik dan balik lebaran Idul Fitri tiba, masjid ini selalu digunakan untuk rest area atau tempat beristirahat pemudik. Pengelola juga menyediakan tempat beristirahat dan pusat makanan dan jajanan.

Para pelancong yang mampir di Masjid Cheng Hoo tak terbatas pada musafir. Keunikannya memantik para peziarah untuk berkunjung.

“Masjid Cheng Hoo selain sebagai tempat ibadah dan salah satu obyek wisata religi di Purbalingga,” ucap Bupati Purbalingga, Tasdi, dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya