Liputan6.com, Jakarta - Dalam UU Terorisme yang baru disahkan, DPR dan pemerintah sepakat memasukkan motif politik dan ideologi dalam definisi terorisme.
Namun, kompromi ini justru menuai kritikan. Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, makna motif politik dalam definisi terorisme itu menjadi multitafsir. Sehingga membuat UU Terorisme rawan digunakan untuk menyasar kelompok nonteroris.
Advertisement
"Itu bisa membuka ruang tafsir yang luas. Dengan motif ideologi dan politik, kerawanan potensi ke kelompok-kelompok yang bukan teroris bisa terjadi," kata Al Araf di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (26/5/2018).
Meski begitu, unsur motif politik tidak dimasukkan dalam tindak pidana terorisme di Pasal 5, 6, dan 7. Menurut Al Araf, jik itu dimasukkan akan menyulitkan penegak hukum dalam pembuktian
"Kalau masuk di dalam unsur 5,6,7 (UU Terorisme), itu akan menyulitkan penegak hukum itu sendiri," kata dia.
Dikhawatirkan Jadi UU Subversif
Sementara Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, motif politik ini berpotensi menjadikan UU yang subversif. Dia menyarankan harus dicermati dalam pengaturannya.
"Motif politik itu kita mengingatkan masa lalu yang kita sebut UU subversif. Orang tiba-tiba ditangkap, tiba-tiba diadili, tiba-tiba ditahan tanpa sesuatu yang jelas. Makanya kita concern terhadap motif politik ini, bagaimana pengaturannya," kata Choirul
Reporter: Ahda Bayhaqi
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement