Komnas Beberkan Celah Pelanggaran HAM di UU Terorisme

Komnas HAM menyoroti dua aturan dalam UU Terorisme yang menjadi celah pelanggaran.

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Mei 2018, 14:15 WIB
Suasana Rapat Paripurna ke-26 Masa Sidang V Tahun 2017-2018 di Jakarta, Jumat (25/5). DPR menyetujui RUU atas UU 15/2003 tentang Penetapan Perppu 1/2002 tentang Pemberantasan Terorisme. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Komisioner Komnas HAM Choirul Anam meminta Polri tidak menutup-nutupi penangkapan terduga teroris. Komnas HAM menilai terduga terorisme rawan mengalami penyiksaan dalam penahanan.

"Penangkapan itu tidak pernah di-declare tempat orang ditangkap di mana. Itu dalam pengalaman Komnas HAM di situlah titik paling rawan penyiksaan terjadi," kata Choirul di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (26/5/2018).

Pernyataan tersebut mengkritisi UU Terorisme yang baru saja disahkan. Menurut Chroirul, tempat penahanan terduga teroris yang ditangkap harus dijelaskan. Misal, kata dia, dibawa ke Mako Brimob, Markas Polda, atau Markas Densus.

"Akar masalah soal penangkapan dan penahanan dalam rentang waktu 21 hari itu enggak terjawab, apa? tempat," kata dia.

"Dalam konteks diskursus hak asasi manusia soal penyiksaan, tempat itu menjadi indikator utama agar penyiksaaan tidak terjadi dan dicegah. Di UU ini enggak ada makanya ini sangat potensial terjadi pelanggaran HAM," imbuhnya.

Komnas HAM juga mengkritisi waktu penyadapan yang cukup lama yaitu satu tahun. Hal itu juga berpotensi melanggar HAM karena menerobos privasi seseorang.

"Penyadapan ini potensial karena waktunya sangat panjang, walaupun itu dikatakan harus dipertanggungjawabkan oleh instansi terkait, atau sifatnya rahasia, tapi kan kalau orang nyadap dengan sifat kaya gitu dia bisa nerobos hak privasi orang, itu berpotensi melanggar HAM," kata Choirul.

 


Masalah Penyadapan

Menurutnya, waktu penyadapan yang lama tersebut menjadi masalah. Karena, saat penyadapan terduga yang disadap baru berstatus calon tersangka. Dia menyebut proses ini melanggar prinsip pidana karena mengundur status seseorang.

"Orang jadi calon tersangka kapan jadi tersangkanya? kapan dibawa ke pengadilan? itu melanggar prinsip pidana, yang kedua seharusnya kalau memang membutuhkan penguatan alat bukti cukup tujuh hari, ngapain 1 tahun, kalau mau ada tersangka yg lain bikin surat perintah penyidikan baru," ucapnya.

Menurut Choirul, kerja-kerja penyadapan dalam konteks seperti ini lebih tepat dianggap kerja intelijen ketimbang ranah penyidikan.

Saksikan video pilihan di bawah ini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya