Liputan6.com, Jakarta - Ketua SETARA Institute Hendradi menilai Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur pelibatan TNI dalam penanganan terorisme, berpotensi tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dengan TNI. Berdasarkan pernyataan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, TNI bisa melakukan operasi sendiri dari pencegahan, penindakan, dan pemulihan.
Padahal, kata Hendardi, dalam UU Terorisme yang baru disahkan agen utama pemberantasan terorisme adalah BNPT yang beroperasi dalam peradilan pidana, Polri sebagai agen penegak hukum, dan TNI berfungsi perbantuan.
Advertisement
"Jelas perluasan kewenangan sebagimana dikatakan Panglima itu terjadi dan dituangkan dalam Perpres, maka produk legislasi yang baru saja disahkan bukannya menjadi landasan kerja agar lebih efektif tetapi bisa jadi justru mengundang tarik menarik kewenangan antar institusi keamanan," jelas Hendradi dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (26/52018).
Dia meminta masyarakat luas untuk mengawasi penyusunan Perpres tersebut. Sebab, menurut Hendradi, ada potensi UU Terorisme yang telah disahkan terlampaui oleh Perpres.
"Masyarakat sipil dan akademisi harus memberikan perhatian pada penyusunan perpres tersebut karena dalam praktik bisa jadi disusun melampaui norma yang ada dalam UU," kata dia.
Perpres Segera Disusun
Diketahui, Menkum HAM Yasonna Laoly memastikan pemerintah akan segera menyusun Perpres yang mengatur aturan main pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Adapun dalam penyusunannya melibatkan Kemenhan, Polri, TNI, serta BNPT.
"UU sudah dapat digunakan oleh aparat penegak hukum. Lanjutannya nanti kami akan menyusun Perpres tentang pelibatan TNI," kata Yasonna.
Reporter: Ahda Bayhaqi
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement