Jinak-Jinak Merpati Gunung Merapi

Merapi punya hak untuk meletus dengan type apapun. Warga memiliki hak untuk menentukan mengungsi atau tidak. Dua hak yang saling berpilin namun saling menghormati.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 27 Mei 2018, 05:03 WIB
Silhuete pagi gunung Merapi, menawarkan eksotisme berbeda. (foto: Liputan6.com / jatmiko fmmh/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Magelang Letusan freatik Gunung Merapi, sejatinya adalah cara Merapi memproklamasikan haknya. Pun saat Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) kemudian menganalisa letusan susulan dan menyimpulkan ada unsur magmatik, itupun penegasan bahwa Merapi memiliki hak hidup.

Warga dusun Keningar dan Tutup Duwur Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang, setidaknya memperlakukan Merapi dengan kedudukan yang sama dengan warga. Merapi memiliki hak untuk apapun, warga juga memiliki hak untuk menyikapi.

Kepala Dusun Tutup Duwur, Sumarjono menyebutkan bahwa Merapi memiliki hak untuk erupsi. Erupsi jenis apapun.

"Kalau mbah Rono menyebutkan Merapi berhak menyandang gelar Waspada atau Siaga. Kami mengatakan Merapi berhak memberi kesejahteraan kepada manusia melalui letusan apapun itu. Freatik, Efusif, atau bahkan Eksplosif sekalipun," kata mbah Jon, sapaan akrabnya kepada Liputan6.com.

Pagi di bawah kawah Merapi dengan jarak kurang dari 5 km barangkali akan menggetarkan bagi orang luar. Bagi warga Keningar dan Tutup nDuwur, ada mekanisme alam yang bisa dijadikan patokan ketika Merapi sudah dalam tahap membahayakan.

"Kami lahir, besar, dan tumbuh di tempat ini. Setiap pagi kami selalu naik mendekati puncak. Mencari rerumputan untuk ternak. Kami dihidupi oleh Merapi," kata Sumarjono.

Penghormatan kepada Merapi adalah sebuah keniscayaan. Ini bukan soal mistik, bukan soal sirik. Ini harmoni hidup dengan alam.

 


Aneka Letusan dan Tawarannya

Seorang petani dusun Tutup Duwur Kecamatan Dukun Magelang sedang membajak sawahnya di kaki Merapi dengan kerbaunya. (foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Pagi hari, warga dusun biasanya akan bangun sebelum matahari muncul. Mereka sungguh menikmati apapun yang disajikan Merapi dan semesta yang melingkupinya. Matahari terbit, suara binatang-binatang, gemuruh dari kawah, hingga komposisi asap dan awan yang mampu berubah warna menyesuaikan ketinggian matahari.

Bias cahaya oleh embun dan juga air di sekitar puncak, tak hanya menyajikan warna jingga sebagaimana pagi. Merapi menawarkan lebih. Ada ungu, ada biru, ada hitam, bermacam warna bercampur.

"Bagi warga, Merapi tak pernah ingkar janji. Ia akan selalu memberi kode jika hendak memuntahkan isi perutnya. Tak pernah Merapi mencelakai warga tanpa isyarat. Bahkan Merapi memberi penghiburan dengan warna-warna yang unik," kata Sumarjono.

Letusan freatik yang mengawali heboh di Mei tahun 2018 ini, sebelumnya pernah terjadi di tahun 1889, 1878, 1807. 1906, 1924, 1990. Kemudian ada beberapa kali di tahun 2012, 2013, 2014. Letusan Freatik dikenal juga sebagai letusan minor atau letusan abu.

Letusan lain adalah letusan efusif. Pernah terjadi di tahun 1883, 1885, 1888, 1905, 1908, 1909, 1915, 1920, 1922, 1986 dan puluhan kali selama kurun waktu 1939-2006.  Letusan efusif disebabkan adanya pertumbuhan kubah lava. Kubah lava lama terdorong oleh tumbuhnya kubah lava baru dan longsor ke bawah. Longsoran ini menghasilkan awan panas.

 


Jinak-jinak Merapi

Pagi hari selalu disambut warga kaki Merapi dengan giat bekerja, kabut tak menghalangi mereka. (foto : Liputan6.com / danu/ edhie prayitno ige)

Yang paling besar adalah letusan jenis eksplosif. Letusan ini disebabkan pergolakan magma di perut gunung. Tekanan yang besar menyebabkan keluarnya magma menjadi eksplosif. Terakhir letusan eksplosif terjadi pada tahun 2010.

"Nggak bisa kalau dibilang ada siklus letusan. Contohnya yang eksplosif itu, sebelumnya terjadi di tahun 1996, kemudian 2010. Padahal sepanjang tahun 1930-1933 juga meletus eksplosif hingga tiga kali. Yang jelas bagi kami Merapi tak pernah ingkar janji," kata Sumarjono.

Sementara itu, bagi Jatmiko aktivis Forum Merapi-Merbabu Hijau, erupsi Merapi tak mengurangi semangatnya menghijaukan lereng Merapi. Ia tak merasa sia-sia jika tanamannya akan hangus oleh terjangan awan panas.

"Nggak ada kaitan antara letusan dan penghijauan yang kami lakukan. Kami semata-mata ingin menjaga alam Merapi dan Merbabu tetap hijau. Itu saja, sederhana. Jangan tanya manfaat atau motivasi lain," kata Jatmiko suatu hari.

Jinak-jinak Merapi. Barangkali frasa itu lebih pas. Merapi sangat jinak, bagi warga dan siapapun yang memang mengutamakan harmoni dengan lingkungan. Namun sejinak apapun, Merapi tetaplah Merapi yang memiliki hak untuk meletus.

Hak Merapi akan diimbangi dengan hak warga untuk menentukan apakah mereka perlu mengungsi ataukah tidak. Dua hak yang saling berpilin namun memiliki kemerdekaan sendiri-sendiri.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya