Liputan6.com, Jakarta Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyatakan minyak nabati kemasan atau bermerek asal Eropa melakukan dumping di Indonesia. Kondisi ini menyebabkan gangguan pada industri dalam negeri.
Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mengungkapkan, sebagai pihak yang dirugikan, pihaknya akan melakukan pemeriksaan volume impor untuk minyak nabati secara umum.
Advertisement
“Pasalnya industri Indonesia tidak membedakan antara minyak berbasis biji yang berbeda tersebut, baik dari sudut pandang perdagangan atau lingkungan,” kata Sahat Sinaga di Jakarta, Minggu (27/5/2018).
Pemeriksaan juga sedang dilakukan, apakah minyak nabati tersebut disubsidi. Jika ada cukup bukti, pihaknya akan mengajukan keluhan kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terhadap semua impor dari Eropa.
Menurutnya, cara ini dianggap fair karena ketika Uni Eropa menuding Indonesia, langkah-langkah tersebut juga diterapkan di seluruh Uni Eropa.
Sahat mengatakan indikasi awal menunjukkan adanya dumping terhadap minyak nabati berbasis rapeseed, minyak zaitun, minyak bunga matahari dan minyak jagung. Indikasi tersebut sangat beralasan mengingat minyak berbasis biji asal Uni Eropa biaya produksinya sangat tinggi.
Tingginya biaya produksi tersebut disebabkan produktivitas minyak nabati asal Eropa jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan minyak kelapa sawit. Oleh karena itu, harga minyak nabati asal Eropa dipastikan jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan minyak nabati berbasis sawit.
Tahap Penyelidikan
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan GIMNI masih melakukan eksaminasi atau penyelidikan apakah ada unsur dumping atau subsidi atas minyak nabati asal Eropa tersebut.
Hingga saat ini, lanjut Oke, pihaknya akan menunggu pengaduan dari masyarakat, termasuk dari GIMNI. Bilamana pengaduan diajukan, maka investigasi akan dilakukan oleh KADI berdasarkan pengaduan tersebut. “Jadi kita tunggu hasil eksaminasi GIMNI tersebut,” kata Oke.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CPOPC Mahendra Siregar mengatakan bahwa asosiasi perusahaan seperti GIMNI memang seharusnya membela kepentingan industri dan perusahaan-perusahaan Indonesia dari kemungkinan terjadinya dumping dan perlakuan tidak fair dari pesaing-pesaing dari luar negeri di pasar Indonesia.
“Hal demikian terjadi di seluruh dunia dengan peraturan dan prosedur yang sudah baku secara internasional sehingga harus dihormati sampai tuntas,” kata Mahendra.
Pengamat ekonomi dari Indef Bhima Yudhistira mengatakan problem diskriminasi perdagangan minyak nabati sudah ada dari dulu, tapi langkah dari pemerintah untuk antisipasi sedikit terlambat. “Solusinya sekarang diplomasi dagang harus dioptimalkan. Kalau perlu gugat ke WTO jika pihak EU tetap bersikeras melakukan diskriminasi produk CPO,” kata Bhima ketika dihubungi di Jakarta, kemarin.
Cara lainnya adalah melakukan diversifikasi pasar ekspor ke negara tujuan lain seperti Afrika, Rusia dan Amerika Latin. “Memang ini solusi jangka panjang tapi harus dimulai dari sekarang,” ujar Bhima.
Advertisement