Liputan6.com, Jakarta - Indonesia mencetak pertumbuhan ekonomi sebesar 5,06 persen pada kuartal I-2018. Dengan realisasi tersebut, jumlah angkatan kerja mengalami peningkatan, sementara angka pengangguran turun karena dorongan investasi yang cukup tinggi.
Dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, Senin (28/5/2018), realisasi pertumbuhan ekonomi di kuartal I ini lebih tinggi dibanding capaian pada periode sama tahun lalu yang sebesar 5,01 persen.
Dalam kurun waktu 2014-2017, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 5 persen. Pada 2014, ekonomi nasional bertumbuh 5,02 persen. Lalu turun menjadi 4,88 persen di 2015.
Baca Juga
Advertisement
Naik lagi menjadi 5,03 persen pada 2016 dan 5,07 persen pada 2017. Target pemerintah, pertumbuhan ekonomi lebih tinggi sebesar 5,4 persen pada tahun ini.
Pemerintah pun berupaya mengendalikan inflasi untuk menjaga daya beli masyarakat. Inflasi pada 2014 tercatat sebesar 8,36 persen akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Tapi terus menurun menjadi 3,35 persen di 2015, sebesar 3,02 persen pada 2016 dan 3,61 persen di 2017. Realisasi inflasi di April 2018 sebesar 3,41 persen.
Dengan perbaikan ekonomi tersebut, tingkat pengangguran di Indonesia semakin menyusut. Jumlah angkatan kerja Indonesia naik 2,39 juta orang dari 131,55 juta orang pada Februari 2017 menjadi 133,94 juta orang di periode yang sama 2018.
Dalam setahun terakhir, jumlah pengangguran berkurang 140 ribu orang menjadi 6,87 juta orang pada Februari 2018. Tingkat pengangguran turun menjadi 5,13 persen di bulan kedua ini dari sebelumnya di periode yang sama 2017 sebesar 5,33 persen.
Dari data Kantor Staf Presiden (KSP), tingkat pengangguran bergerak mengarah penurunan. Pada Agustus 2014, tingkat pengangguran berada di level 5,94 persen, kemudian menjadi 5,81 persen di Februari 2015, dan 6,18 persen pada Agustus 2015.
Tingkat pengangguran anjlok di Februari 2016 menjadi 5,5 persen, namun naik lagi di Agustus 2016 sebesar 5,61 persen. Hingga akhirnya tingkat pengangguran turun lagi menjadi 5,33 persen di Februari 2017. Dan sekarang 5,13 persen pada Februari 2018.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, penurunan jumlah orang yang menganggur di Februari 2018 sejalan dengan pertumbuhan investasi di kuartal I.
"(Penurunan jumlah pengangguran) sejalan dengan pertumbuhan investasi di kuartal I-2018 yang lebih dari 7 persen. Sekaligus mulai musim panen padi," kata Bambang saat dihubungi Liputan6.com, baru-baru ini.
Data BPS menunjukkan, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi di kuartal I ini tumbuh signifikan sebesar 7,95 persen. Pertumbuhan ini disokong peningkatan seluruh jenis barang modal, kecuali sumber daya hayati.
Bambang memastikan bahwa jumlah angkatan kerja yang bertambah pada bulan kedua ini merupakan dampak dari menggeliatnya investasi di sektor riil dan sifatnya tidak hanya sementara atau temporer.
"Investasi sektor riil jangka pangan. Tidak hanya kegiatan konstruksi yang temporer. Sektor konstruksi juga tumbuh cukup baik, sehingga membuka lapangan pekerjaan," mantan Menteri Keuangan itu menjelaskan.
Sayangnya jika dilihat, pertumbuhan ekonomi yang masih stabil, jumlah pengangguran yang turun, dan penyerapan tenaga kerja yang naik, belum mampu mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang Januari-Maret 2018.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga di kuartal I ini hanya tumbuh 4,95 persen. Tidak bergerak dari kuartal IV-2017 yang sebesar 4,95 persen, akan tetapi tumbuh tipis dari realisasi 4,94 persen di kuartal I-2017.
"Konsumsi rumah tangga tetap tumbuh tapi sedikit melambat sebesar 4,95 persen," ujar Bambang.
Tingkat Kemiskinan Single Digit
Saat ini, ambisi pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) adalah menurunkan tingkat kemiskinan di bawah 10 persen atau single digit. Hal itu diklaim tidak mustahil bagi pemerintah.
"Masih mungkin (single digit) karena ekonomi masih tumbuh 5,1-5,3 persen di tahun ini," kata Bambang.
BPS mencatatkan penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 1,19 juta jiwa menjadi 26,58 juta orang pada September 2017. Tingkat kemiskinannya tercatat 10,12 persen atau turun 0,52 persen dari 10,64 persen di Maret 2017.
Data KSP menyebut tingkat kemiskinan terus menurun. Pada Maret 2015 masih sebesar 11,22 persen, lalu menjadi 11,13 persen di September 2015. Turun lagi menjadi 10,86 persen di Maret 2016 dan 10,7 persen di September 2016.
Untuk menekan tingkat kemiskinan di bawah 10 persen, pemerintah menjagokan bantuan sosial untuk mengurangi angka kemiskinan. Upaya ini seiring dengan perbaikan penyerapan anggaran bantuan sosial ke masyarakat miskin.
Dari data APBN Kita, realisasi bantuan sosial hingga 30 April 2018 mencapai 39,78 persen atau Rp 30,73 triliun dari target sebesar Rp 77,26 triliun. Capaian penyerapan tersebut lebih tinggi dibanding belanja modal, belanja pegawai, dan belanja barang di periode tersebut.
"Program pengurangan kemiskinan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) makin tepat sasaran," terang Bambang.
Satu lagi yang tak kalah penting, yakni mengenai tingkat ketimpangan pendapatan atau gini rasio yang turun. Rasio gini pada Maret 2015 tercatat 0,408 menjadi 0,402 pada September 2015. Terus merosot menjadi 0,397 di Maret 2016 dan menjadi 0,394 pada September 2016.
Ketimpangan pendapatan antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia menyusut lagi menjadi 0,393 pada Maret 2017 dan menjadi 0,391 pada September 2017.
Dengan sederet pencapaian indikator ekonomi Indonesia selama hampir empat tahun ini, Bambang mengatakan, pemerintah akan terus berupaya untuk menjaga momentum pertumbuhan.
"Berupaya menjaga pertumbuhan berkualitas yang stabil," paparnya.
Advertisement
Jalankan Reformasi Struktural
Kepala Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy menilai, keberhasilan pemerintah Jokowi-JK dalam menjalankan reformasi struktural adalah menghapus subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan mengalokasikannya untuk pembangunan infrastruktur.
"Dampak dari pembangunan infrastruktur sudah mulai kelihatan. Tapi memang kita harus sabar, karena dampak infrastruktur ke ekonomi butuh waktu," tuturnya saat berbincang dengan Liputan6.com.
Hanya saja, Leo mengakui bahwa penurunan jumlah pengangguran di Indonesia belum berdampak signifikan terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Hal ini dikarenakan kualitas pendapatan dan kenaikan jumlah tenaga kerja belum menunjukkan perbaikan signifikan.
"Ternyata jumlah tenaga kerja yang meningkat itu yang paruh waktu, sedangkan yang full time tumbuh melambat. Kalau pekerja paruh waktu kan punya ketidakpastian penghasilan, jadi mereka menurunkan spending-nya," jelas Leo.
Ia menambahkan, pekerjaan rumah pemerintah di sisa waktu ini adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendapatan dan tenaga kerja. Caranya dengan melakukan reformasi struktural, meningkatkan sektor manufaktur.
"Prioritaskan manufaktur yang fokus pada orientasi ekspor. Ini harus dilakukan segera karena reformasi berpacu dengan waktu, ada perubahan era ke digital," paparnya.
Lebih jauh menurut Leo, pembangunan infrastruktur dan manufakturing harus berjalan bersama. Pembangunan infrastruktur akan menguntungkan sektor manufaktur. Namun tanpa perbaikan di sektor tersebut, maka infrastruktur yang sudah dibangun dengan susah payah, tidak akan memberi dampak apapun.
"Kalau reformasi struktural ini jalan semua, maka bisa saja menurunkan kemiskinan ke single digit. Tapi reformasi harus kontinyu dan konsisten karena untuk jangka panjang, jadi tidak berhenti di sini saja, 2019 tetap lanjut," paparnya.
Dengan demikian, Leo masih optimistis, ekonomi nasional akan tumbuh pada level 5 persen di 2018. Namun perkiraannya lebih rendah dari target pemerintah sebesar 5,4 persen di APBN 2018.
"Kalau 5,4 persen kayaknya tidak ya. Melihat realisasi pertumbuhan ekonomi 5,06 persen di kuartal I dan ada rekanan rupiah, saya kira pertumbuhan ekonomi 5,1-5,2 persen saja sudah oke di tahun ini," tandasnya.