Liputan6.com, Jakarta - Hakim Agung Artidjo Alkostar yang dikenal kerap menambah hukuman para koruptor pensiun pada Selasa, 22 Mei 2018. Dia disebut sebagai hakim yang ditakuti para koruptor yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Selepas kabar pensiunnya sang hakim yang pensiun karena memasuki usia 70 tahun, narapidana kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang sehubungan dengan proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang Anas Urbaningrum ternyata mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).
Advertisement
Anas divonis 8 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI kemudian meringankan vonisnya menjadi 7 tahun penjara
Tidak terima dengan putusan tersebut, Anas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, tak berbuah manis, Anas justru harus menelan pil pahit setelah majelis hakim MA menolak permohonan kasasi Anas.
Majelis hakim yang diketuai Artidjo Alkostar saat itu , Juni 2015 melipatgandakan hukuman Anas menjadi 14 tahun penjara serta denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan. Bahkan, mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR RI itu pun diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580.
Mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari juga mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Dia mengajukan PK atas vonis 4 tahun penjara yang diterimanya terkait kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Minggu (27/5/3018), permohonan PK Siti didaftarkan pada 15 Mei 2018 dengan nomor perkara 30/Pid.Sus-TPK/2017/PN Pn.Jkt.Pst.
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jamaludin Samosir pun membenarkan pengajuan PK tersebut. Menurut dia, sidang PK Siti Fadilah Supari akan digelar pada Kamis, 31 Mei 2018. Sidang PK akan dipimpin langsung oleh Hakim Ketua Sumpeno.
"Ya. Tanggal 31 Mei sidang. Hakim ketuanya Bapak Sumpeno," kata Jamaludin saat dikonfirmasi Liputan6.com di Jakarta, Minggu (27/5/2018).
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meyakini Mahkamah Agung (MA) akan memproses pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dua terpidana kasus korupsi secara independen.
Sebab, pengajuan PK dua terpidana kasus korupsi tersebut berbarengan dengan pensiunnya hakim agung, Artidjo Alkostar, yang terkenal menakutkan oleh para koruptor.
"Mahkamah Agung akan memproses itu secara independen dan imparsial," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Minggu (27/5/2018).
Menurut dia, pengajuan PK oleh dua terpidana kasus korupsi tersebut tidak terkait dengan pensiunnya Artidjo. KPK percaya bahwa MA masih memiliki hakim yang berintegritas dan berkomitmen dalam memberantas korupsi.
"MA bisa membuktikan sebaliknya, bahwa masih ada hakim-hakim yang berintegritas di sana," ujar Febri.
Kendati begitu, kata Febri, pengajuan PK merupakan hak terpidana korupsi. Dia mengatakan bahwa kasus para koruptor sudah diuji secara berlapis dan sesuai dengan pertimbangan majelis hakim.
"Terpidana punya hak untuk mengajukan PK, sepanjang syarat-syaratnya dipenuhi. Kan ada beberapa syarat di sana. Jadi silakan saja, nanti KPK akan menghadapi," kata Febri.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Alasan Anas Urbaningrum
Pada memori PK yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ada beberapa alasan Anas mengajukan permohonan itu. Ada dua hal yang menjadi dasar Anas mengajukan PK.
"Dasarnya kuat karena ada keadaan baru dan bukti baru, yang kedua yang juga sangat penting adalah kekhilafan hakim sebelumnya ketika memutus perkara ini," ujar Anas seusai sidang pembukaan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 24 Mei 2018.
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu menegaskan putusan kasasi yang saat itu dipimpin oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar sebagai Ketua Majelis Hakim tidak adil. Dia menganggap beberapa fakta dan bukti dikesampingkan dalam proses kasasi.
Oleh sebab itu, guna meruntuhkan putusan kasasi, Anas berencana menghadirkan dua anak buah Muhammad Nazaruddin; Yulianis dan Marisi Matondang dan mantan petinggi Adhi Karya, Teuku Bagus untuk memberikan testimoni. Selain itu, kubu Anas juga akan menghadirkan dua ahli.
"Bagi saya bahwa instansi hukum PK, saya ingin betul-betul diadili sehingga hasilnya putusan betul-betul adil," ujarnya.
Dia juga menilai, putusan itu tidak kredibel. Anas menganggap, putusan kasasi tidak mencermati beberapa fakta dan bukti selama proses persidangan.
"Kalau Pak Artidjo mengerti persis, saya yakin Pak Artidjo akan menyesal dengan putusannya itu. Tetapi apa pun itu, saya hormati keputusan itu," ujar Anas.
Anas menampik upaya hukum ini diambilnya berkaitan dengan pensiunnya Artidjo. Menurutnya, sekalipun belum pensiun, Artidjo tidak lagi menangani perkaranya di tingkat PK. Karena itu, tak ada kaitan antara PK yang ia ajukan dengan pensiunnya Artidjo.
"Kalau PK kapan pun itu apakah hari ini, setahun yang lalu, 2 tahun yang lalu, itu pasti bukan Pak Artidjo yang pegang PK, karena Pak Artidjo kan sudah pegang kasasi jadi tidak boleh lagi hakim yang memegang menjadi majelis hakim PK," ujar Anas.
Mantan komisioner KPU itu menuturkan, pengajuan PK telah dilakukannya sejak satu bulan lalu. Hanya saja, baru diproses oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saat ini.
"Saya memasukkan PK kurang lebih sebulan yang lalu, tapi baru hari ini permulaan sidangnya," ujar Anas.
Sementara, Artidjo enggan menanggapi pengajuan PK Anas Urbaningrum tersebut.
"Karena etika daripada hakim itu sangat ketat. Tidak boleh kita mengomentari perkara yang akan berproses atau telah saya tangani. Tidak boleh. Itu kode etiknya jelas," kata Artidjo di gedung Mahkamah Agung, Jumat 25 Mei 2018.
Dia pun geram dengan orang-orang yang menyebut hakim MA mengada-ada ketika memperberat hukuman Anas dalam kasasi. Dia mengatakan MA tidak selalu bergantung dengan alasan seseorang mengajukan kasasi ketika memutus perkara. Oleh karena itu, bisa saja hakim memperberat hukuman Anas Urbaningrum dalam kasasi, lalu bisa saja tidak tetap atau malah berkurang.
"MA mengadili tidak bergantung pada alasan-alasan kasasi. Itu dibaca di UU MA. Jadi banyak komentator itu tidak tahu hukum tentang hukum acara dan hukum UU MA. Itu berkomentar dia seolah-olah tahu, itu disayangkan," kata Artidjo.
Advertisement
Sosok Artidjo
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo berharap pengganti Artidjo Alkostar, sebagai hakim Agung tak jauh berbeda dengan pendahulunya. Artidjo selama ini diketahui kerap menambah hukuman para koruptor di tingkat kasasi.
"Ya mudah-mudahan penggantinya bisa seperti pak Artidjo. Kalau pengalaman saya ya, selalu kalau kita kasasi ke sana (MA) selalu diperkuat," ujar Agus di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat 25 Mei 2018.
Selain diketahui kerap menambah hukuman para koruptor, Agus juga berharap pengganti Artidjo bisa menjaga marwah MA, dan bisa mengemban amanah membuat peradilan lebih baik.
Harapan Agus juga tak jauh berbeda dengan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif. Di mata Syarif, Artidjo merupakan hakim yang dipercaya oleh masyarakat.
"Terus terang, di buku (Artidjo) saat mau pensiun itu, saya diminta salah satu yang menulis kesan dan pesan saya sebagai orang yang mengenal Pak Artidjo. Dan saya mengatakan saya pikir Pak Artidjo itu salah satu hakim yang mengembalikan marwah Mahkamah Agung," kata Syarif.
Sementara itu, Artidjo Alkostar berharap, penggantinya bisa lebih baik daripada dirinya. Lalu kriteria yang tepat adalah bisa pulang larut malam. Kenapa begitu, Artidjo bercerita saat menjadi hakim agung tidak pernah pulang cepat. Sebab, setiap harinya harus mengurusi hampir 100 kasus.
Dia menuturkan, di kantornya selalu mengurusi kasus dengan cepat karena berkejaran dengan masa tahanan. Kalau tidak, orang itu akan bebas secara hukum. Dengan begitu, tiap pulang dia harus bawa koper besar-besar berisi berkas perkara yang tengah ditangani. Tercatat, sampai akhir pengabdiannya, Artidjo Alkostar telah menangani 19.708 perkara.
"Saya harapkan pengganti saya lebih baik dari saya, yang pertama ketekunan menangani perkara, kedua harus pulang sampe larut malam," kata dia di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Jumat (25/5/2018).
Kenyang Ancaman
Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar mengaku kenyang dengan ancaman. Ia sudah mengalaminya bahkan saat masih menjadi pengacara.
Artidjo bercerita saat membela kasus Santa Cruz di Dili, Timor Timur--sekarang Timor Leste. Dia hampir dibunuh orang berpakaian ninja.
"Pernah mau dibunuh saya jam 12 malam. Tapi, Allah melindungi saya yang didatangi oleh ninja itu, ninja tahulah di Timtim itu siapa ninja," ujar Artidjo di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Jumat (25/5/2018).
Namun, penyerang waktu itu salah sasaran. Dia malah menyasar asisten Artidjo. Ancaman pembunuhan juga diterimanya saat membela kasus penembakan misterius di Yogyakarta.
"Saya pernah diancam, Artidjo kamu jangan sok pahlawan. Penembak misterius datang ke tempat tidur kamu," kata Artidjo menirukan bunyi ancaman.
Namun, semua ancaman tak membuat Artidjo gentar. Ia malah mengabaikannya.
Menurut dia, darah Madura yang mengalir dalam tubuhnya menjadi alasan. Sejak kecil dia sudah kenyang dengan silat, berkelahi, bahkan mantan hakim yang ditakuti koruptor ini, sering bertarung dengan celurit saat kecil.
"Jadi, tidak memungkinkan. Darah Madura saya tidak memungkinkan untuk menjadi takut sama orang," ucap Artidjo sambil terkekeh.
Darah Madura-nya itu pula yang bikin dia tidak takut disantet. Artidjo menuturkan, selama menjadi hakim agung, berbagai upaya santet ditujukan kepada dirinya.
"Kalau orang akan menyantet saya itu salah alamat juga. Katanya pernah mau disantet. Dipake foto saya katakan wah ini mesti kelas TK ini," kata dia.
Hakim agung Artidjo Alkostar menuturkan, dia tidak mau dirinya diberikan julukan atau penghargaan. Sebab, menurut dia, sebagai seorang hakim tidak boleh bermimpi mendapatkan hadiah sekali pun.
"Kalau hakim itu tidak boleh bermimpi saja, mendapat hadiah itu ndak boleh, ndak boleh hakim," kata Artidjo.
Ia bercerita pernah mendapat hadiah dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Kampus almameternya itu memberikan sebuah award (penghargaan). Begitu juga sebuah universitas di Jakarta yang dia rahasiakan namanya. Semuanya Artidjo tolak.
"Saya itu kan pernah mau diberi award dari UII dari almamater saya. Saya tolak, saya tolak. Ada juga dari Jakarta, tidak perlu saya sebutkan, memberikan award juga. Saya tolak juga," kata dia.
Adapun alasan penolakan karena, menurut Artidjo, penghargaan seperti itu berpotensi mempengaruhi independensi seorang hakim. Tak hanya itu, julukan atau penobatan verbal pun dia tolak demi independensi.
"Hakim itu harus bebas dari harapan-harapan yang berpotensi untuk mempengaruhi independensi. Penghargaan ini, sebutan ini. Jadi, harus bersih, harus independen," tegas Artidjo.