Liputan6.com, Jakarta Pasien penyakit jantung ingin jalankan Puasa Ramadan, boleh-boleh saja. Hal ini masih aman untuk dilakukan, bahkan pasien gagal jantung sekalipun.
Hal ini berdasarkan penelitian yang dipresentasikan pada 1 Maret 2018 dalam 29th Annual Conference of the Saudi Heart Association (SHA29) di Riyadh, Arabi Saudi. Para ahli dari European Society of Cardiology (ESC) mengungkapkan, pasien dengan penyakit kronis dibebaskan berpuasa, tapi kebanyakan memilih untuk berpuasa.
Baca Juga
Advertisement
Di Arab Saudi, puasa biasanya berlangsung 15 hingga 16 jam. Demi menjalankan puasa dengan aman, pasien gagal jantung disarankan membatasi asupan cairan setiap hari hingga kurang dari dua liter dan sodium hingga kurang dari 2500 mg. Jika tidak mematuhi batasan tersebut, kondisi tubuh justru makin memburuk.
Penelitian ini melibatkan 249 pasien rawat jalan dari tiga klinik gagal jantung pada tahun 2017. Sebanyak 227 pasien (91%) berpuasa selama bulan Ramadan. Di antara mereka, 209 pasien (92%) gejala membaik, sedangkan gejala memburuk pada 18 pasien (8%). Gejala gagal jantung meliputi sesak napas, pembengkakan pergelangan kaki, dan kelelahan.
"Pasien gagal jantung yang tidak mengikuti rekomendasi cairan dan garam selama berpuasa Ramadan makin buruk gejalanya. Apalagi ketika mereka dikunjungi teman-teman yang banyak bawa makanan. Kandungan garam normal atau tinggi dan minum banyak cairan dalam waktu singkat dapat menyebabkan pergeseran cairan dalam tubuh," kata ahli jantung Rami Abazid, dikutip dari Medical Xpress, Jumat (25/5/2018).
Mengurangi Obat
Menyoal ketidakpatuhan minum obat-obatan, beberapa pasien ternyata berhenti atau mengurangi penggunaan obat diuretik--mengatasi masalah air kencing pada gagal jantung, gagal ginjal, dan sirosis hati. Ini karena mereka takut haus selama berjam-jam puasa.
Obat-obatan yang harus diminum dua kali sehari malah dikurangi satu dosis.
"Puasa Ramadan aman untuk kebanyakan pasien dengan gagal jantung kronis. Saran saya adalah mematuhi pembatasan cairan dan garam. Selain itu, tidak menghilangkan dosis obat. Tetap minum obat, tapi pada jam-jam setelah buka puasa (malam hari)," jelas Abazid.
Jika memungkinkan, dokter dapat memberikan pasien obat dengan dosis harian tunggal yang dapat diminum selama jam non-puasa.
Advertisement