Liputan6.com, Seoul - Beberapa hari yang lalu, KTT Amerika Serikat-Korea Utara diselimuti ketidakpastian, apakah akan terwujud atau dibatalkan. Dan memasuki minggu yang baru, perkembangan teranyar menunjukkan rasa optimisme bangkit, saat Korea Selatan melangkah masuk dalam rencana pertemuan bersejarah tersebut.
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, tidak menutup kemungkinan dapat bergabung dalam pertemuan Donald Trump dan Kim Jong-un yang dijadwalkan akan berlangsung di Singapura pada 12 Juni mendatang. Hal tersebut diungkapkan oleh media Korea Selatan, Yonhap News pada Senin pagi.
Seperti dikutip dari New York Post, Senin (28/5/2018), seorang pejabat pemerintah di Seoul mengatakan bahwa kehadiran Moon di KTT Amerika Serikat-Korea Utara tergantung pada diskusi antara Washington dan Pyongyang.
"Diskusi baru saja dimulai, jadi kami masih menunggu untuk melihat bagaimana hasilnya. Tapi bergabungnya presiden (Moon) dengan Donald Trump dan Chairman Kim Jong-un di Singapura bergantung pada hasil diskusi," ujar pejabat tersebut kepada Yonhap News.
Jika KTT tiga negara berlangsung, kemungkinan akan berputar di sekitar bagaimana menyediakan jaminan keamanan bagi Korea Utara sebagai ganti denuklirisasi.
Kabar soal peluang Moon hadir dalam KTT Amerika Serikat-Korea Utara muncul setelah selama akhir pekan kemarin, Trump dan Kim Jong-un melanjutkan upaya untuk menyelamatkan negosiasi pasca-pembatalan sepihak oleh Trump pada Kamis lalu.
Setelah membatalkan pertemuannya dengan Kim Jong-un, Trump pada hari Jumat, tiba-tiba saja menyatakan bahwa KTT masih dapat berlangsung sesuai jadwal.
Indikasi lebih lanjut yang menunjukkan bahwa KTT akan tetap berlangsung adalah delegasi dari AS dan Korea Utara tengah melangsungkan pertemuan di Panmunjom. Sementara, sebuah tim lainnya dari Negeri Paman Sam dilaporkan terbang ke Singapura untuk melakukan persiapan.
Baca Juga
Advertisement
"Meski terdapat jeda tiba-tiba dalam pertemuan puncak, semua pihak kemungkinan besar akan mencoba menjadwal ulang pertemuan," demikian ungkap seorang analis di think tank yang berbasis di AS, Council on Foreign Relations.
Menurut ahli strategi, kedua negara, selain Korea Selatan memiliki kepentingan dalam mewujudkan pertemuan pada bulan depan atau di kemudian hari.
"Semua pihak menginginkan penarikan ketegangan dan sebuah perubahan hubungan antara Pyongyang dan pihak-pihak lainnya," ujar Andray Abrahamian, seorang pengajar tidak tetap di Institute Pacific Forum.
Faktanya, banyak yang berteori bahwa pembatalan sepihak oleh Trump hanyalah taktik tawar menawar.
"Itu adalah protes pra-negosiasi dan apa yang dilakukannya adalah uji tekanan dalam hal siapa yang menginginkan lebih banyak," tutur Jasper Kim, seorang profesor di Ewha Womans University yang bermarkas di Seoul.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Korea Utara Tidak Mundur
Meski telah dibatalkan secara sepihak oleh Trump, namun Korea Utara menyatakan bahwa Kim Jong-un bersedia bertemu dengan AS "kapan pun dan dengan cara apa pun".
"Kami tegaskan kepada Amerika Serikat bahwa kami bersedia untuk duduk berhadap-hadapan kapan pun dan dengan cara apa pun," kata Kim Kye Gwan yang telah terlibat dalam negosiasi dengan Washington selama bertahun-tahun, seperti dikutip dari CNN, Jumat, 25 Mei 2018.
Dan konsistensi sikap Korea Utara terkait dengan KTT Amerika Serikat-Korea Utara kembali ditegaskan oleh Presiden Moon Jae-in.
Kim Jong-un berkomitmen untuk bertemu dengan Donald Trump dan denuklirisasi penuh, demikian pernyataan Presiden Moon usai pertemuannya dengan Kim Jong-un.
Moon memainkan peran sebagai mediator "mengingat kenyataan bahwa rekonsiliasi antar-Korea, dan akhirnya perdamaian di Semenanjung Korea, tidak dapat tercapai kecuali Amerika Serikat dan Korea Utara sepakat melakukan denuklirisasi", demikian kata analis dari Council on Foreign Relations.
Meski demikian, sekalipun dengan kehadiran Moon, setiap diskusi antara AS dan Korea Utara akan menjadi rumit oleh pemahaman yang berbeda dari istilah "denuklirisasi".
Gedung Putih menginginkan rezim Kim Jong-un untuk mengambil langkah signifikan, yakni melepas senjata nuklir sebelum melonggarkan sanksi. Namun, Pyongyang lebih menyukai proses perlucutan senjata secara bertahap yang berjalan bergandengan tangan dengan konsesi ekonomi dan keamanan AS.
Advertisement