DJP: Cekal ke Luar Negeri Jadi Opsi Terakhir buat Penunggak Pajak

Konsekuensi buat para penunggak pajak adalah pencekalan ke luar negeri. Bagaimana prosedur seorang WP bisa dicegah ke luar negeri?

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 30 Mei 2018, 15:17 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan tidak akan serampangan meminta Ditjen Imigrasi mencegah seorang Wajib Pajak (WP) yang memiliki utang pajak paling sedikit Rp 100 juta. Ditjen Pajak akan lebih dulu menggunakan tindakan persuasif dan pembinaan untuk melakukan upaya penagihan utang pajak ketimbang mencegah WP ke luar negeri. 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Hestu Yoga Saksama, mengungkapkan, meski ada perjanjian kerja sama dengan Ditjen Imigrasi, bukan berarti DJP bisa semaunya mencegah individu atau WP bepergian ke luar negeri. Apalagi menghambat warga negara untuk bepergian ke luar negeri, baik itu sebagai pelancong ataupun pebisnis.

"Misalnya ada kewajiban perpajakan dari WP yang belum dilaksanakan (utang pajak), tentunya ada langkah-langkah pembinaan seperti mengirim surat imbauan, konseling, dan memberikan kesempatan WP untuk melapor atau membetulkan SPT dan membayar pajaknya. Jadi tidak serta merta dilakukan pencegahan keluar negeri," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu (30/5/2018). 

Hestu Yoga memastikan, pencegahan WP bepergian ke luar negeri baru dilakukan apabila tidak ada niat baik dari WP untuk melunasi utangnya. Prosedur pencegahan, kata dia, dilakukan per individu penunggak pajak, bahkan harus melalui penetapan oleh Menteri Keuangan.

"Jadi kita tidak membagi data penunggak pajak seperti itu ke Ditjen Imigrasi dan tindakan represif seperti pencegahan merupakan opsi paling akhir. Kami kedepankan tindakan pembinaan dan persuasif," paparnya.

Dirinya menjelaskan, pencegahan bagi WP untuk bepergian ke luar negeri dari sisi perpajakan hanya bisa terjadi jika WP atau Penanggung Pajak memiliki utang pajak (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar/SKPKB) minimal Rp 100 juta dan sudah berkekuatan hukum tetap atau incracht, dan tidak memiliki niat baik untuk melunasi utang pajaknya.

Selain itu, ia menjelaskan, terhadap WP dilakukan penyidikan tindak pidana perpajakan. Sesuai UU KUHAP, Penyidik Pajak memang dapat melakukan pencegahan.

"Jadi hanya dalam kondisi terbatas tersebut, kita bisa meminta Imigrasi untuk mencegah WP ke luar negeri," ujar Hestu Yoga.


Tak Perlu Khawatir

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, kerja sama pertukaran data antara DJP dan Ditjen Imigrasi bukan merupakan hal baru. Upaya ini lazim karena sesuai mandat Pasal 35A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), bahwa setiap instansi, lembaga, asosiasi, atau pihak lain wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Ditjen Pajak. Ini diatur detail di Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012.

Yustinus menjelaskan, seluruh data dan informasi yang dipertukarkan hanya untuk profiling, intinya siapa (identitas) melakukan apa (aktivitas) dikawinkan.

"Misalnya si Badu bepergian ke luar negeri dengan uang sendiri, dari penghasilan yang sudah dipajaki dan dilaporkan di SPT. Ya tidak masalah, enjoy saja. Lain halnya jika Si Polan kerap plesiran ke luar negeri, gemar pamer foto dan status di medsos, ternyata tak pernah membayar pajak dan tak menyampaikan SPT," paparnya. 

Senada dengan Hestu Yoga, Yustinus mengungkapkan, WP dengan dua kategori tersebut, bisa dilakukan pencegahan.  Yakni utang pajak minimal Rp 100 juta dan sudah berkekuatan hukum tetap atau incracht, dan tidak memiliki niat baik untuk melunasi utang pajaknya.

Selain itu, terhadap WP yang dilakukan penyidikan tindak pidana perpajakan. Sesuai UU KUHAP, Penyidik Pajak memang dapat melakukan pencegahan.

"Jadi hanya dalam kondisi terbatas tersebut, Ditjen Pajak berdasarkan PP 31/2013 bisa meminta Ditjen Imigrasi untuk mencegah WP ke luar negeri. Ini berarti DJP tidak bisa semaunya mencegah individu untuk bepergian ke luar negeri, apalagi menghambat warga negara untuk bepergian ke luar negeri baik itu sebagai pelancong, berobat, ataupun pebisnis," kata Yustinus. 

Dalam hal kondisi WP seperti si Polan sekalipun, menurutnya, DJP wajib mengikuti prosedur yang ada, seperti melayangkan imbauan, melakukan persuasi, memberi kesempatan warga Negara Indonesia (WNI) tersebut mendaftar, membayar, dan melaporkan kewajiban pajaknya.

"Fair bukan? Nah, jika kita memang tidak mau taat, penegakan hukum baru dijalankan. Jadi, tak perlu khawatir, teruslah plesira. Lanjutkan melancong, jangan lupa tunaikan apa yang menjadi kewajiban kita," pungkas Yustinus. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya