Liputan6.com, Jakarta - Berita-berita tentang kasus Cambridge Analytica mulai surut di media, Facebook pun masih terus beroperasi. Namun nyatanya, kasus itu menyisakan trauma.
"Kami membaca berita tiap hari dan kami melihat semua orang marah pada kami dan membenci kami," ucap Mike Schroepfer, Chief Technology Officer (CTO) Facebook, seperti dikutip Bloomberg, Kamis (31/5/2018).
"Ini adalah perubahan terbesar yang saya perhatikan di perusahaan. Perubahan kultural besar yang membuat orang-orang harus memikirkan berbagai hal sebelum mereka membangun sesuatu, bukan setelahnya," kata dia lagi.
Baca Juga
Advertisement
Pasca-skandal Cambridge Analytica, Facebook tidak hanya diharuskan memperbaiki kebijakan mereka mengenai data, tetapi juga dipaksa lebih tegas terhadap konten-konten kebencian dan terorisme.
Selain itu, kebijakan terkait perusahaan iklan dan pengembang aplikasi juga diperketat oleh Facebook.
Schroepfer turut membahas bagaimana CEO Apple Tim Cook sempat turut menyindir Facebook atas model bisnis yang dimilikinya.
"Memang mudah untuk menendang seseorang saat mereka sedang tersungkur," ucap Schroepfer.
Kabar baiknya adalah Facebook tidak mengalami pengurangan dalam jumlah pengguna. Sahamnya pun naik 5 persen dibandingkan tahun lalu.
Facebook Hadirkan Fitur Clear History
Sebelumnya, CEO Facebook Mark Zuckerberg datang ke Brussel, Belgia, untuk memberikan keterangan pada Parlemen Eropa, Selasa (23/5/2018) waktu setempat.
Mengulang pengalamannya di Kongres Amerika Serikat (AS), Zuckerberg menghadapi pertanyaan seputar privasi dan potensi tindak kriminal yang terjadi di Facebook, seperti intervensi politik dan ujaran kebencian.
Di sana, Zuckerberg menyebut siap mengikuti GDPR (General Data Protection Regulation, Regulasi Perlindungan Data Umum).
Ia mengatakan Facebook tengah menyiapkan fitur terbaru yang memberkan pengguna lebih banyak kendali bisa menghapus histori bagi penggunanya.
"Misalnya, di browser, kamu bisa dengan mudah bisa membersihkan cookies and history. Jadi, kami bangun juga versi serupa di Facebook bernama Clear History," kata Mark Zuckerberg dalam keterangannya.
"Fitur ini akan menunjukkanmu informasi yang kami dapat melalui website dan aplikasi saat kamu pakai, dan membersihkan data itu dari akun kamu, serta mematikan kemampuan penyimpanan data di akunmu," paparnya.
Zuckerberg menyebut, penghapusan histori seperti itu pasti akan membuat pengguna lebih repot karena harus terus sign in saat mengunjungi sebuah situs, tetapi ia menyebut hal itu tetap diperlukan.
"Ini jenis kendali yang kami pikir harus dimiliki orang-orang, dan hal ini sudah dari dulu diminta oleh advokat privasi dan regulator, terutama di Eropa," tukasnya.
Sayangnya, walau Zuckerberg menghormati GDPR, ia tetap menolak menerapkan perlindungan tersebut ke pengguna Facebook seluruh dunia. Padahal, aturan GDPR terbilang komprehensif dan pro pengguna.
Advertisement
Perketat Aplikasi
Di depan Parlemen Eropa, Mark Zuckerberg turut menyatakan sedang melakukan investigasi dan audit pada aplikasi-aplikasi Facebook agar mencegah terjadinya kasus serupa Cambridge Analytica.
"Kami lakukan audit, men-suspend aplikasinya dan menjalankan investigasi. Bila ditemukan ada aplikasi menyalahgunakan data pengguna, akan kamu cekal aplikasi serta pengembangnya, dan beritahu pengguna (yang terdampak)," ujarnya.
Para pengguna juga sekarang dapat dengan mudah melihat dan menghapus aplikasi-aplikasi yang tidak ingin mereka pakai lagi.
Zuckerberg menyatakan akses informasi yang bisa didapat aplikasi sudah semakin terbatas, yakni hanya data basic seperti nama, foto profil, dan alamat e-mail.
Sebelumnya, aplikasi dapat memanen informasi Facebook yang bersifat publik di profil pengguna.
Aplikasi pun diwajibkan meminta izin berkala pada para pengguna, pasalnya bila aplikasi tidak terpakai selama tiga bulan juga otomatis, maka otomatis aplikasi itu tidak dapat mengakses pengguna lagi.
(Tom/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini