Pengusaha Yakin Vatikan Bantu RI Lawan Rencana Larangan CPO oleh Eropa

Persoalan yang terkait dengan kelapa sawit antara lain kemanusiaan dan kemiskinan akan gerakkan Vatikan untuk dukung upaya Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 31 Mei 2018, 15:10 WIB
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut serta pada pertemuan produsen minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dunia di Vatikan, Roma pada Selasa 15 Juni 2018. Beberapa negara akan berkumpul guna membahas mengenai masalah kelapa sawit.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono yakin Vatikan akan mendukung upaya Indonesia dalam melawan rencana larangan produk sawit Indonesia oleh Eropa.

"Kalau Vatikan pasti setuju. Makanya Vatikan mendukung," ujar dia di Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis (31/5/2018).

Dia mengatakan, persoalan yang terkait dengan kelapa sawit seperti kemanusiaan dan kemiskinan akan menggerakkan Vatikan untuk mendukung upaya Indonesia.

"Vatikan itu concern-nya soal kemanusiaan, kemiskinan. Jadi palm oil itu bukan hanya uang, ada sisi kemanusiaan, yang bersentuhan dengan kemiskinan di negara-negara berkembang. Begitu Anda menghambat sawit, mengganggu aspek kemanusiaan," ujar dia.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan pada pertemuan tersebut pihaknya akan kembali mempromosikan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar. 

"Ya tujuannya juga sebenarnya kita sambil mengenalkan Indonesia, dan menjelaskan bahwa kita tidak semata-mata masalah kelapa sawit, kita melihat itu masalah kemiskinan, masalah humanity, dan keadilan, jadi itu nanti yang akan kita tekankan di sana," ujar dia saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Rabu 9 Mei 2018.

 


Menko Luhut Lawan Hoaks dan Boikot Sawit RI oleh Eropa

Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Panjaitan. (Liputan6.com/Nafiysul Qodar)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, kelapa sawit telah menjadi sasaran hoaks yang cukup mengemuka di dunia, termasuk di Eropa. Jika tidak diluruskan, maka Indonesia akan terkena dampak negatifnya terutama dengan nasib 2,3 juta petani kecil di Indonesia dan 17,5 juta pekerja di sektor sawit.

“Ternyata terhadap data itu istilah halusnya banyak dilakukan distortion of fact, nah itu yang banyak dilakukan negara-negara di Eropa ini,” kata Luhut dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis 17 Mei 2018.

“Sekarang ini kita kembali menyajikan data bahwa aturan nomor satu dari WTO itu keadilan, jadi tidak boleh ada diskriminasi,” dia menegaskan. 

Dalam melawan hoaks minyak kelapa sawit Indonesia, Luhut mendapat dukungan dari dua badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Food and Agriculture Organization (FAO) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) yang terkait masalah kemanusiaan, kemiskinan, kelaparan, agrikultur, dan peningkatan taraf hidup.

“Dukungan IFAD dan FAO banyak. Nanti seperti IFAD itu akan konferensi back to back di Bali. Sementara itu, mereka juga akan melakukan lobi, begitu juga FAO,” ujar Luhut. 

Lebih jauh dia menjelaskan, dukungan itu diberikan karena semua pihak sepakat dengan prinsip Sustainable Development Goals yang target nomor satunya adalah pengentasan kemiskinan.

“Masalah kelapa sawit ini masalah yang harus diselesaikan secara terintegrasi, karena itu menyangkut masalah kemiskinan itu adalah kaitannya dengan SDGs itu nomor satu kemiskinan,” paparnya.

Sebagai hasil akhirnya, Menko Luhut berharap publik mendapatkan perbandingan tiga produk utama pertanian yang menghasilkan minyak tersebut.

“Jadi kalau memang harus disaingkan ya tidak apa-apa, palm oil disaingkan sunflower atau dengan soybean. Padahal biji bunga matahari dan kedelai itu kan kurang efektif bila dibanding palm oil,” Luhut menerangkan. 

Masalahnya, perbandingan yang adil tidak pernah muncul karena kampanye negatif yang memberikan stereotip bahwa minyak sawit berdampak pada kerusakan hutan, membahayakan kesehatan manusia, dan mengganggu habitat hewan yang dilindungi.

Justru fakta kontribusi industri sawit yang dapat menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan di negara-negara berkembang, terabaikan. Jika kampanye yang tidak berkeadilan ini tidak di atasi, maka kendala terdekat bagi Indonesia akan terjadi pada 2021, di mana parlemen Uni Eropa melarang impor sawit untuk penggunaan biofuel dan bioliquids, termasuk biodiesel.

“Buat Indonesia ada hasil penelitian dari Stanford itu menunjukkan memang yang paling banyak mengurangi kesenjangan kita dari 0,41 ke 0,39 itu adalah minyak kelapa sawit salah satunya yang paling besar. Kalau itu terganggu ini akan merusak nanti beberapa juta orang terkait masalah kemiskinan,” ujar Luhut. 

 Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya