Kenaikan Suku Bunga Acuan Diprediksi Picu Rupiah Menguat

Meski demikian, faktor global bisa jadi penghambat laju penguatan rupiah salah satunya karena instabilitas politik dan ancaman krisis keuangan di Italia.

oleh Nurmayanti diperbarui 31 Mei 2018, 16:35 WIB
Pekerja bank menghitung uang dollar AS di Jakarta, Jumat (20/10). Pagi ini, Rupiah dibuka di Rp 13.509 per USD atau menguat tipis dibanding penutupan perdagangan sebelumnya di Rp 13.515 per USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia diprediksi akan mendorong penguatan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara Bhima Indef memprediksi rupiah terus menguat di kisaran 13.900- 14.000 terhadap Dolar AS, setelah kenaikan bunga acuan meski dalam jangka pendek. 

"Yang jadi perhatian utama adalah melihat sinyal berapa kali BI akan naikan bunga acuan sampai akhir tahun apakah benar benar pre-emptive mengantisipasi setiap naiknya Fed rate atau lebih longgar," ujar Bhima di Jakarta, Kamis (31/5/2018).

Menurut Bhima, faktor global bisa jadi penghambat laju penguatan rupiah salah satunya karena instabilitas politik dan ancaman krisis keuangan di Italia. Selain Italia, ada Turki dan Argentina yang dikhawatirkan memicu krisis sistemik global. Kemudian negosiasi antara Amerika dan China yang belum menemui titik terang dan berpotensi melanjutkan trade war serta keputusan OPEC yang berpengaruh ke harga harga komoditas. 

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) Bulanan tambahan yang berlangsung pada Rabu ini memutuskan untuk kembali menaikkan suku bunga acuan. RDG Bulanan tambahan ini membahas kondisi ekonomi dan moneter terkini serta prospek ke depan.

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, Dewan Gubernur memutuskan untuk menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps juga menjadi 5,50 persen.

"Keputusan ini berlaku efektif besok yaitu 31 Mei 2018," jelas dia di Gedung Bank Indonesia, Rabu (30/5/2018).

Menurut Perry, kebijakan tersebut ditempuh sebagai bagian dari bauran kebijakan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas perekonomian di tengah berlanjutnya peningkatan ketidakpastian pasar keuangan dunia dan penurunan likuiditas global.

Bank Indonesia juga melanjutkan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai kondisi fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya mekanisme pasar. Kebijakan tersebut ditopang oleh pelaksanaan operasi moneter yang diarahkan untuk menjaga kecukupan likuiditas baik di pasar valas maupun pasar uang.

Koordinasi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas terkait terus diperkuat untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta memperkuat implementasi reformasi struktural.

Bank Indonesia memandang bauran kebijakan yang telah ditempuh sebelumnya dan respons saat ini konsisten dengan upaya menjaga inflasi agar tetap berada dalam kisaran sasaran 3,5 persen pada 2018 dan 2019 serta mengelola ketahanan sektor eksternal.

Ke depan, Bank Indonesia akan terus memonitor perkembangan ekonomi dan siap menempuh langkah-langkah yang lebih kuat guna memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi.

Sebelumnya BI juga telah menaikkan suku bunga acuan dalam RDG pada 16-17 Mei 2018. Di rapat itu, BI 7-Day Repo Rate naik 25 basis poin menjadi 4,5 persen dari sebelumnya 4,25 persen.

Perry menyatakan, pasar tidak perlu khawatir dengan kenaikan suku bunga acuan, karena dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi baru akan terasa pada 1,5 tahun mendatang.


Pengusaha Mulai Antisipasi Dampak Kenaikan Suku Bunga Acuan BI

Kenaikan suku bunga acuan BI.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan dunia usaha mulai mengantisipasi dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia.

Ketua Kadin Indonesia Rosan P Roslani menjelaskan, salah satu dampak yang bakal muncul dari kenaikan suku bunga acuan BI adalah kenaikan cost of fund. Meskipun demikian Rosan tidak menjelaskan secara rinci upaya antisipasi yang bakal diambil.

"Kelihatannya dunia usaha sudah mulai antisipasi. Kita sudah antisipasi bahwa ada kemungkinan kenaikan cost of fund kah. Dampak ini tidak langsung, beberapa bulan ke depan kita sudah lihat akan ada kenaikan (cost of fund)," ungkapnya ketika ditemui, di Kompleks GBK, Jakarta, Rabu (30/5/2018).

Kenaikan cost of fund tersebut bakal menggerus keuntungan atau margin dunia usaha, meskipun penurunan margin, menurut dia tidak akan terjadi terlalu besar. "Kalau kerugian sih tidak , tapi kalau margin agak turun iya. Tapi sedikit kok," tegas dia.

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya