Mengenal Pramoedya, Sosok di Balik Minke yang Diperankan Iqbaal Dilan

Sebanyak 50 karya sastra lahir dari buah pemikirannya. Lewat tulisannya , Pramoedya Ananta Toer banyak merefleksikan kondisi bangsa saat era kolonial.

oleh Luqman RimadiFadjriah Nurdiarsih diperbarui 31 Mei 2018, 19:07 WIB
Pramoedya Ananta Toer (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Jagad maya tengah dihebohkan dengan munculnya pembuatan film adaptasi novel karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia.

Pro dan kontra pun bermunculan, mulai dari sosok Minke, yang akan diperankan oleh artis Iqbaal Ramadhan, hingga kekhawatiran apakah novel berlatar sejarah yang panjang itu dapat terakomodasi dengan baik ke dalam film dengan durasi sekitar dua jam.

Terlepas dari pro dan kontra serta kehebohan terkait film tersebut, mungkin banyak yang belum tahu siapa Pramoedya Ananta Toer, sosok di balik terciptanya novel Bumi Manusia. Pram, demikian ia dikenal, lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925.

Pram, dijuluki sebagai Bapak Realisme Sosialis, semasa hidupnya aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) telah menelurkan lebih dari 50 karya sastra, dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, serta menjadi bahan ajar fakultas sastra di luar negeri.

Ayahnya, Mastoer Imam Badjoeri, seorang guru yang tadinya bekerja untuk sekolah dasar pemerintah, HIS, di Rembang. Ayahnya lantas menjadi kepala sekolah milik pergerakan Boedi Oetomo di Blora. Sementara ibu Pram, Saidah, adalah anak seorang penghulu.

Gaji guru Boedi Oetomo sangat kecil, sehingga ibunya harus menambah penghasilan dengan bekerja di sawah atau pekarangan rumah. Pram anak sulung. Suasana di Blora tampaknya begitu menyedihkan, apalagi ayahnya begitu keras.

Sang ayah, seorang nasionalis yang keras hati, tampaknya begitu kecewa dengan keadaan pergerakan. Ia juga kesal karena Pram tak sepintar yang diharapkannya. Pram ternyata sempat tidak naik sekolah tiga kali. Keadaan bertambah buruk saat ibunya meninggal karena penyakit TBC pada usia 34 tahun. Pram lantas pergi ke Jakarta.

Segala kegelisahan, kekagumannya pada sang ibu, dan kemarahannya pada sang ayah kemudian banyak diwujudkan dalam karya-karyanya. Ia tampak tak puas dan marah kepada hidup yang barangkali hanya memberinya kebahagiaan sejenak. 


Karya Pram Adalah Nasib Rakyat

Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, bagian pertama dari Tetralogi Pulau Buru.

Beberapa karya awalnya, Kranji-Kranji Jatuh, Perburuan, dan Keluarga Gerilya dengan segera menunjukkan kegeramannya pada penguasa. Pram sepertinya mengenang kala tentara Belanda dengan sewenang-wenang pernah membakar buku koleksi ayahnya.

August Hans den Boef dan Kees Snoek dalam Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (2008) mengatakan, karya-karya Pramoedya telah menciptakan gambaran tidak terhapuskan tentang tanah air dan sejarahnya. 

Inti dalam karya Pram adalah nasib rakyat. Rakyat dalam kehidupan sehari-hari, rakyat yang bertahan untuk mencari nafkah, serta rakyat yang dilukiskan dalam ambisi-ambisinya yang sering dikekang.

Dalam Perburuan, Pram jelas menyuarakan kebencian pada orang-orang Indonesia yang jadi kolaborator Jepang, sementara tokoh Amilah dalam Keluarga Gerilya tampaknya diambil Pram dari sang ibu.

Adapun tokoh Wahab didasarkan Pram pada Komandan Wahab, seorang pejuang kemerdekaan yang dijatuhi hukuman mati oleh Belanda.

Pram menggambarkan pengalamannya dipenjara di Bukit Duri dan Pulau Edam dalam sebuah roman tebal, Mereka jang Dilumpuhkan. Dalam roman ini begitu banyak kisah tentang manusia, begitu banyak kehidupan serta riwayat-riwayat kecil dan besar. Di dalamnya Pram menulis:

Untuk siapa saja yang boleh kusebut adikku

Mula-mula aku merasa—perasaan yang berjalan dengan tiada kesadaranku bahwa di dunia ini hanya akulah yang ada. Pastilah engkau tertawa karena kesombongan itu, tapi semua itu sudah berjalan dengan tak setahuku, semua itu sudah jadi sebagian dari sejarah.

Dan tembok yang tinggi dilapisi oleh pintu besi dan pintu kayu berangkap-rangkap itu, adikku, itulah yang membukakan mataku. Ya, kemudian aku tahu bahwa banyak manusia di dunia ini.

Karena itu, adikku, dengan sengaja tulisan ini kubuat untuk memperlihatkan padamu, dunia ini penuh oleh manusia—bermacam-macam manusia. Dan aku banyak berkenalan dengan manusia-manusia dalam tulisanku ini.

Manusia Bubu, Manusia Penjara

Djakarta, Maret 1950.


Penjara Adalah Universitas

Secara keseluruhan dalam roman ini Pram malah ingin mencitrakan bahwa “penjara adalah universitas bagi kaum revolusioner”.

Pram juga menampilkan dunia rakyat jelata yang bagi orang Belanda tak dikenal. Dalam Cerita dari Blora, Pram menampilkan kehidupan sehari-hari orang Indonesia di masa yang penuh kekerasan selama dan langsung sesudah penjajahan Belanda.

Sementara dalam Bukan Pasar Malam tampak sekali kekecewaan Pram terhadap ayahnya. Meski demikian, Pram mengaku mempelajari konsistensi bersikap dan pandangan liberal dari ayahnya.

Perihal ideologi, Pram mengatakan, "Ideologi ditanamkan di dalam diri saya oleh keluarga saya, yaitu sikap cinta akan keadilan, kebaikan, dan alam, serta nasionalisme. Ideologi itu sudah ditanamkan dalam diri saya sejak muda dan masih terus hidup sampai kini. Jika saya melakukan kesalahan, maka saya akan mengakuinya,” tutur Pram kepada Kees Snouck pada Jumat, 26 Juli 2001.


Panggilan untuk Menulis

Pramoedya Ananta Toer (Liputan6.com/Abdillah)

Pramoedya telah mengalami banyak hal, termasuk juga konflik dengan para seniman dan budayawan lain yang berseberangan dengannya.

Ia telah mengalami penindasan, perampasan, dan penghinaan yang tidak patut dialami seorang warga yang merdeka. Namun sepanjang hidupnya, Pram terus terpanggil untuk menulis.

Dalam kesempatan yang sama Pramoedya juga mengatakan, “Saya berharap pembaca-pembaca di Indonesia, setelah membaca buku saya, merasa berani, merasa dikuatkan. Dan kalau ini terjadi, saya menganggap tulisan saya berhasil. Itu adalah suatu kehormatan bagi seorang pengarang, terutama bagi saya. Lebih berani. Berani. Lebih berani.”

 


Untuk Generasi Zaman Now

Kritikus sastra Afrizal Malna mengatakan, Pram merupakan sosok yang romantik khas generasinya, yang banyak mengalami kejutan sejarah dan dunia baru, yang tiba-tiba ada di depannya karena Perang Dunia II.

“Menurutku kayanya Indonesia enggak akan melahirkan lagi sastrawan seperti Pram, karena eranya sudah lain, pandangan dunia sastra juga sedang berubah dengan munculnya media baru. Teknologi big data, teritori etis, maupun identitas yang juga berubah karena munculnya ruang digital,” ungkap Afrizal kepada Liputan6.com, Selasa, 6 Mei 2018. 

Bagi Afrizal, karya-karya Pram merupakan salah satu perspektif, sebuah cara bagi bangsa Indonesia dalam melihat sejarahnya, di tengah masyarakat masa kini yang juga punya ruang sejarah yang lain.

“Harapanku ya generasi masa kini bisa melihat karya-karya Pram sebagai salah satu batas dari asal-usul kita sebagai bangsa,” kata Afrizal.

Sesudah kematiannya pada 30 April 2006, nama Pramoedya Ananta Toer tetap menggema hingga saat ini. Sosoknya dalam sampul buku yang ditulis August Hans den Boef dan Kees Snoek tampak garang. Rokok terselip di mulut dengan kacamata membingkai wajah. Ia tampak begitu keras dan teguh meski hanya mengenakan kaus putih.

Di hadapannya terdapat mesin tik. Keseluruhannya menggambarkan sosok seorang penantang yang tak pernah menyerah.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya