Liputan6.com, Jakarta - Rencana Uganda untuk menerapkan pajak pada pengguna media sosial akhirnya benar-benar dilakukan. Pemerintah negara tersebut akan menarik sekitar 200 shilling Uganda (Rp 747) dari pengguna Facebook, WhatsApp, Viber, dan Twitter.
Dilansir BBC, Sabtu (2/6/2018), Presiden Yoweri Museveni mengeluarkan aturan ini karena media sosial dianggap sebagai sarana penyebaran gosip. Rencananya, aturan ini mulai berlaku efektif pada 1 Juli 2018.
Baca Juga
Advertisement
Menteri Dalam Negeri David Bahati menjelaskan pada anggota parlemen, pajak media sosial ini diperlukan untuk ikut mendorong pertumbuhan pendapatan nasional. Kendati demikian, belum dapat dipastikan seperti apa implementasi dari aturan ini.
Hingga sekarang, pemerintah belum mengungkap metode untuk mengetahui masyarakat yang mengakses media sosial. Karena itu, aturan ini masih menjadi perdebatan sejumlah pihak.
Pandangan pesimis terkait aturan ini datang dari salah satu penyedia internet di layanan itu. Terlebih, pemerintah hingga saat ini belum dapat membuat aturan mengenai registrasi kartu SIM yang baik di negara tersebut.
Berdasarkan laporan Reuters, dari 23,6 juta pengguna ponsel, hanya 17 juta pengguna yang memanfaatkannya untuk internet. Hal itu membuat sejumlah pihak merasa aturan soal pajak media sosial ini tak sesuai dengan kondisi di Uganda.
Wacana Sejak Bulan Lalu
Sekadar informasi, wacana penerapan pajak untuk pengguna media sosial ini sudah diketahui sejak bulan April 2018. Aturan ini disebut langsung berasal dari surat Presiden Yoweri ke Menteri Keuangan Uganda, Matia Kasaija.
Menurutnya, pajak ini akan dibebankan pada pengguna WhatsApp, Twitter, dan Facebook. Adapun pajak yang ditarik pemerintah adalah 200 shiling (Rp 747).
"Kami berencana mengumpulkan lebih banyak uang untuk menjamin keamanan negara dan menyediakan pasokan listrik lebih banyak. Dengan demikian, masyarakat dapat menikmati media sosial lebih sering dan nyaman," tuturnya.
Dikutip dari Reuters, aturan pajak media sosial ini akan mulai diberlakukan pada Juli 2018 untuk meningkatkan kas negara. Kendati demikian, rencana ini ditentang sejumlah elemen masyarakat.
Salah satu yang menyuarakan penolakan adalah aktivis hak asasi manusia dan blogger, Rosebell Kagumire. Ia menuturkan, aturan ini tak lebih dari upaya menekan kebebasan berekspresi.
Keberadaan aturan ini juga disebut bertentangan dengan kondisi yang ada di Afrika saat ini. Alasannya, menurut kelompok advokasi World Wide Web Foundation, biaya internet di Afrika termasuk yang paling tinggi.
Selain Uganda, negara Afrika lain yang juga menerapkan aturan serupa adalah Tanzania. Di negara tersebut, pemerintah mewajibkan warga negara pemilik blog atau situs membayar biaya lisensi tahunan sebesar 1 juta shilings (Rp 6 juta).
Advertisement
Facebook, Twitter, dan WhatsApp Jadi 'Barang Haram' di Uganda
Sekadar informasi, Facebook, Twitter, dan WhatsApp sebenarnya sempat menjadi layanan teknologi terlarang di Uganda. Pada 2016, negara tersebut sempat memblokir akses ke tiga aplikasi itu.
Pemerintah negara itu memang diketahui sudah beberapa kali memblokir akses terhadap media sosial. Keputusan pembokiran ini didukung kuat oleh Presiden Uganda, Yoweri Museveni.
Menurut kabar yang beredar, banyak yang tidak puas dengan kinerja Museveni sebagai pemimpin negara yang berada di timur Afrika tersebut selama tiga dekade terakhir.
Akibatnya, banyak yang menyuarakan petisi untuk melengserkan Museveni di media sosial. Museveni pun geram dan memblokir semua akses media sosial untuk pertama kalinya pada Februari 2016 lalu.
(Dam/Ysl)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: