Liputan6.com, London - Usai melangsungkan pernikahannya, Pangeran Harry dan Meghan Markle rupanya telah mengembalikan sejumlah kado yang diberikan oleh sejumlah pihak.
Dikutip dari laman The Independent, Sabtu (2/6/2018), total kado pernikahan tersebut ditafsir mencapai tujuh juta pound sterling atau setara dengan Rp 129 miliar.
Karena statusnya yang merupakan anggota keluarga kerajaan Inggris, Pangeran Harry dan Meghan Markle mendapat banyak hadiah saat pernikahan. Kendati demikian, dua pasangan ini sama sekali tidak menerimanya.
Baca Juga
Advertisement
Hal ini mereka lakukan lantaran ada aturan yang berlaku, di mana kerajaan melarang Duke dan Duchess Sussex menerima apapun yang tujuannya komersial.
Atas larangan ini, Pangeran Harry dan Meghan Markle meminta kepada siapun yang ingin memberi hadiah, diminta untuk mendonasikannya ke badan amal.
Tak hanya masyarakat, tamu undangan yang datang ke St George's Chapel pun dilarang membawa hadiah apapun.
"Tak ada yang diperbolehkan membawa serta memberi hadiah dalam pesta pernikahan Pangeran Harry dan Meghan Markle."
"Tamu disarankan untuk mencari terlebih dahulu informasi lebih lanjut soal pemberian hadiah," tulis pihak Kensington Palace.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Minta Disalurkan untuk Beli Pembalut Wanita India
Pangeran Harry dan Meghan Markle menolak semua daftar hadiah yang diberikan oleh masyarakat di seluruh dunia. Sebaliknya, mereka menyarankan agar orang-orang yang berniat memberi hadiah untuk menyumbangkan dana tersebut ke badan amal.
Dikutip dari laman Money.cnn.com, pasangan tersebut menyarankan agar masyarakat dunia memberikan bantuan penyediaan pembalut dengan harga terjangkau untuk wanita di India.
Pangeran Harry dan Meghan Markle menyebut bahwa pihaknya telah meminta Yayasan Myna Mahila yang berbasis di Mumbai, India sebagai organisasi asing yang menaungi bidang amal tersebut.
Badan amal ini punya program untuk meningkatkan akses kesehatan dan perlindungan sanitasi bagi perempuan yang tinggal di daerah kumuh Mumbai, India.
Badan amal tersebut pun berkonsentrasi pada penyediaan bantalan pembalut yang terjangkau dan higienis.
"Menstruasi adalah proses tubuh yang sangat alamiah. Namun, masih banyak hal tabu yang terjadi soal menstruasi di India," kata Sumati Joshi, seorang pekerja amal.
Selama ini wanita di India juga kerap malu untuk membeli pembalut. Sebab, toko kelontong yang menjual pembalut kebanyakan laki-laki.
Dari situlah Yayasan Myna Mahila masuk. Badan amal ini lantas mempekerjakan 15 wanita lokal untuk menjual pembalut. Selain menyediakan pembalut untuk dijual, badan amal ini juga menyediakan relawan untuk membagikan bantalan ke wilayah kumuh.
"Kami pergi dari rumah ke rumah untuk membidik dan memberi pembalut yang sudah disubsidi," jelas Joshi.
Menurut Survei Kesehatan Keluarga Nasional India, lebih dari 40 persen wanita di negara tersebut yang berusia 15 sampai 24 tahun tidak memiliki akses untuk mendapat pembalut.
Hingga akhirnya, mereka terpaksa menggunakan kain, pakaian lama, koran, jerami, pasir atau abu, demikian menurut keterangan dari UNICEF dan organisasi bantuan lainnya.
Advertisement