Liputan6.com, Kebumen - Dua pria asal Kebumen bikin heboh usai memulai perjalanan naik haji bersepeda ontel pada akhir April 2018 lalu. Sayangnya, kayuhan pedal sepeda mereka kandas di Batam, Kepulauan Riau.
Dua orang itu, Kiai Khudori asal Desa Roworejo, Kecamatan Kebumen, dan Nurudin, warga Desa Sidomoro, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen, tak memperoleh visa. Mereka pun terpaksa kembali ke kampung halaman dan gagal berangkat haji.
Hanya saja, mereka tak lagi mengayuh sepeda. Dua pria yang berniat naik haji bersepeda ontel itu pulang dengan pesawat terbang. Rabu malam, 30 Mei 2018 lalu, mereka tiba di kampung halamannya, Kebumen.
Baca Juga
Advertisement
Lantaran keinginannya yang kuat untuk berhaji, Kiai Khudori pun mendaftarkan diri ke Kementerian Agama (Kemenag) Kebumen, dengan jalur pemberangkatan haji reguler. Seperti tak terjadi apa-apa, ia segera larut dalam rutinitas kesehariannya.
"Pak Khudori kan punya tanah. Bertani, rajin sekali," ucap Kepala Desa Roworejo, Amir Syarifudin, kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Selain bertani, pria setengah baya asal Roworejo, Kebumen, ini pun kembali mengajar mengaji usai gagal berangkat haji bersepeda ontel. Khudori membuka rumahnya lebar-lebar untuk seluruh warga yang ingin belajar agama.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Khudori Bangun Gubuk di Daerah Pelosok
Anak-anak belajar mengaji, mulai membaca Iqra hingga Alquran. Adapun orang tua, belajar memahami ilmu agama.
Pelajarannya pun tak berat-berat. Ada yang ingin belajar berwudu atau memahami syarat sah dan rukun salat.
Tiap hari, di kampungnya, Dukuh Krajan, Desa Roworejo, Khudori membuka kelas informal untuk warga yang berniat mendalami ilmu agama.
"Anak-anak ada, yang orang tua juga banyak yang belajar agama di rumahnya," Amir menjelaskan.
Di Roworejo, ada sebuah kampung di ujung desa yang pembelajaran agamanya masih minim. Namanya Dukuh Ngglagak.
Letaknya yang berada di ujung desa, membuat anak-anak di dukuh ini tak memperoleh pelajaran agama yang cukup. Tak ada madrasah atau ustaz yang mengajar mengaji di sana.
Melihat fenomena itu, sejak beberapa tahun yang lalu, Khudori membangun sebuah gubuk di daerah bernama Siminguk, Ngglagak. Pada sore hari, ia mengajari anak-anak mengaji.
Saat malam tiba, Khudori pun tidur di gubuk ini. Di pesantren, gubuk semacam ini disebut sebagai uzlah, yakni sebuah bangunan kecil tempat untuk menyepi dan mendalami ilmu agama.
"Punya tanah di ujung desa, di daerah Ngglabak. Siminguk. Tidur kalau malam. Dan siangnya untuk mengaji anak-anak daerah Siminguk," Amir menerangkan.
Advertisement
Tanpa Honor
Amir pun mengakui, semangat Kiai Khudori untuk menyebarkan risalah agama amat kuat. Ia rela mengajar mengaji, tanpa honor.
Kepribadiannya pun terbilang unik. Hal itu bisa dilihat dari kebiasaannya muhibah ke pesantren-pesantren atau ziarah ke makam ulama di berbagai daerah. Seluruhnya ditempuh dengan bersepeda ontel.
Keluarganya terhitung berkecukupan. Pun dengan anak-anaknya yang telah mentas. Dari empat anaknya, tiga di antaranya jadi bos konveksi. Satu lainnya, anak menantu, jadi staf Tata Usaha (TU) SMK Maarif 1 Kebumen.
Menilik latar belakang keluarganya, lebih dari cukup rasanya membiayai perjalanan haji Khudori secara reguler. Namun, ia memilih berangkat haji bersepeda ontel, meski akhirnya gagal.
"Yang paling tua anaknya Tohar Fuadi. Bos konveksi dia. Anak buahnya puluhan, banyak," Amir mengungkapkan.
Kini, sembari mengajar mengaji dan bertani, Khudori pun menunggu jadwal keberangkatannya ke tanah suci untuk berhaji.
Adapun kondisi rekan seperjalannnya, Nurudin, belum diketahui. "Saya enggak tahu ya. Beda desa, dekat tapi beda kecamatan," Amir menambahkan.