Liputan6.com, Washington DC - Mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton memprediksi, jika Donald Trump merupakan presiden AS dari Partai Demokrat, maka, miliarder nyentrik itu akan semakin terdesak menghadapi ancaman pemakzulan akibat berbagai skandal yang tengah membelit dirinya saat ini.
Tapi, Donald Trump adalah presiden AS dari Partai Republik.
Dalam sebuah wawancara dengan CBS Sunday Morning Clinton mendiskusikan dugaan skandal yang saat ini tengah membelit Trump, yakni, campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016 atau Russia Meddling. Serta, bagaimana media di AS memberitakan proses penyelidikan kasus tersebut --yang saat ini dipimpin oleh Special Counsel Robert Mueller.
"Saya pikir media secara besar-besaran telah meliput investigasi tersebut berdasarkan fakta-fakta," kata Clinton.
"Dan saya pikir --ini pun berdasarkan pengalaman pribadi saya-- jika ia adalah presiden dari Partai Demokrat, dan kemudian fakta-fakta (Russia Meddling) itu muncul, kebanyakan orang (Kongres) di Washington saat ini pasti sudah memulai proses pemakzulan terhadap dirinya," kata presiden ke-42 AS itu, seperti dikutip dari Huffington Post, Selasa (5/6/2018).
Baca Juga
Advertisement
Pada tahun 1998, Kongres AS yang didominsi oleh Partai Republik memakzulkan Bill Clinton (Demokrat) dari kursi kepresidenan AS karena terbelit skandal pelecehan seksual terhadap Paula Jones dan skandal perselingkuhan dengan Monica Lewinsky pada beberapa tahun silam.
Berbeda dengan Clinton, masa presidensi Donald Trump ditandai dengan Kongres AS yang didominasi oleh rekan separtainya dari Republik. Kondisi itu, menurut Clinton, membuat Trump berada pada posisi yang cukup aman dari berbagai ancaman pemakzulan yang menerpa dirinya, meski tengah terbelit skandal Russia Meddling.
Andaikan saat ini Kongres AS didominasi oleh Partai Demokrat, maka, nasib Donald Trump dapat jauh berbeda dengan kondisinya sekarang, menurut prediksi Clinton.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Rusia Membantah Russia Meddling
Rusia mengatakan bahwa tuduhan terhadap 13 warga negaranya dan tiga perusahaan dari Negeri Beruang Merah yang diduga terlibat dalam skandal campur tangan dalam Pilpres AS 2016 yang berujung pada kemenangan Donald Trump sebagai presiden -- populer disebut 'Russian Meddling' -- adalah sebuah omong kosong.
Hal itu diutarakan oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov di hadapan puluhan pemimpin dunia -- termasuk perwakilan AS -- yang menghadiri Konferensi Keamanan Munich, Jerman beberapa bulan lalu.
Ia juga mempertanyakan bukti-bukti yang diajukan oleh Kepala Penyelidik Khusus Kementerian Hukum AS yang menangani skandal Russian Meddling, Special Counsel Robert Mueller.
"Saya tidak punya komentar apapun, karena siapapun bisa menerbitkan apa yang diinginkannya. Kami bisa melihat bagaimana tuduhan-tuduhan, pernyataan dan klaim bertambah banyak. Sampai kami bisa melihat faktanya, semua itu hanya omong kosong saja. Maaf, saya tidak menggunakan bahasa yang lebih diplomatis," kata Lavrov seperti dikutip dari VOA Indonesia pada Senin 19 Februari 2018.
Penyelidikan yang dilakukan Robert Mueller menunjukkan bagaimana Rusia berusaha mempengaruhi politik di Amerika lewat dunia maya. Tuduhan-tuduhan atas warga Rusia itu mengisyaratkan bahwa bagian propaganda pemerintah Rusia juga meliputi konspirasi mata-mata dan kejahatan untuk mempengaruhi pemilu presiden 2016, dengan mendukung Donald Trump dan merendahkan saingannya Hillary Clinton.
Advertisement