KPK Larang Penyelenggara Negara Terima THR dan Parcel dari Rekanan

Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001, penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri ataupun penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatan memiliki risiko sanksi pidana.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 04 Jun 2018, 20:18 WIB
Pedagang merapikan parcel Lebaran dagangannya di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (7/7/2015). Menjelang Lebaran, penjualan parcel yang biasanya meningkat justru mengalami penurunan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)
Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengimbau penyelenggara negara untuk menolak pemberian uang, parcel, maupun fasilitas lainnya dari rekanan atau pengusaha menjelang Hari Raya Idul Fitri. Apalagi jika pemberian tersebut berhubungan dengan jabatan dan terindikasi sebagai gratifikasi.
 
"Sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara‎ hendaknya menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dengan menolak pemberian gratifikasi," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (4/6/2018).
 
Agus mengatakan, imbauan tersebut telah disampaikan KPK kepada sejumlah lembaga negara melalui keterangan tertulis. Surat tersebut juga ditembuskan kepada Presiden Joko Widodo, Ketua DPR Bambang Soesatyo, dan Ketua BPK RI Moermahadi Soerja Djanegara.
 
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri ataupun penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatan memiliki risiko sanksi pidana.
 
"Apabila dalam keadaan tertentu terpaksa menerima gratifikasi, maka wajib melaporkan kepada KPK dalam 30 hari kerja sejak tanggal penerimaan gratifikasi," kata Agus.
 
 

Diberikan ke Panti Asuhan

Parcel lebaran (Achmad Dwi Afriyadi/Liputan6.com)
Selain itu, Agus mengatakan, jika penyelenggara negara mendapat bingkisan atau parcel dalam bentuk makanan, Agus menyarankan agar langsung diberikan ke panti asuhan, atau pihak lain yang membutuhkan. Meski begitu, pemberian tersebut tetap harus dilaporkan kepada KPK.
 
"Penyerahan tersebut harus disertai dokumentasi dan penjelasan taksiran harga yang kemudian dilaporkan kepada KPK," kata Agus.
 
Agus juga melarang penyelenggara negara untuk menggunakan kendaraan dinas untuk kepentingan seperti mudik dan sebagainya. "Mengingat kendaraan dinas hanya diperuntukan untuk kedinasan," kata Agus.
 
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya