Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta tidak hanya fokus pada pengembangan industri yang berorientasi revolusi industri ke-4 (industry 4.0). Tetapi juga harus bisa mempertahankan industri yang ada di dalam negeri agar tidak pindah ke negara lain dengan membenahi regulasi yang merugikan sektor industri.
Pengamat Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono mengatakan, pemerintah telah menyiapkan lima sektor industri untuk dihadapkan pada revolusi industri 4.0. Sektor itu adalah makanan dan minuman, tekstil, otomotif, elektronik, dan kimia. Namun demikian, sektor industri lainnya di luar kelima sektor tersebut tetap akan berkontribusi pada perekonomian Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
"Ini baik sebagai penyumbang pendapatan negara, serta penyerap tenaga kerja," ujar dia dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (5/6/2018).
Tony mengungkapkan, menjaga ekspor dan iklim investasi sektor industri juga merupakan salah satu upaya yang bisa pemerintah untuk stabilitas rupiah. Namun fakta di dalam negeri menunjukkan sejumlah investor justru merasa tidak nyaman di Indonesia.
"Alasan utamanya adalah adanya regulasi-regulasi tertentu yang berujung peningkatan biaya produksi," kata dia.
Menurut Tony, regulasi yang muncul salah satunya dilatarbelakangi oleh perlunya pemerintah meningkatkan pendapatan negara, yang diwujudkan dengan menaikkan tarif pajak, bea, cukai, dan retribusi. Hal tersebut menyebabkan para pelaku industri dalam kondisi dilematis, di mana mereka terpaksa menahan produksi untuk menghindari peningkatan biaya.
"Peningkatan kapasitas produksi akan mengarahkan aktivitas usaha berbalik dari menghasilkan keuntungan menjadi pemicu kerugian. Sebab, peningkatan produksi berarti peningkatan jumlah pajak, bea, cukai, dan retribusi yang harus dibayar," jelas dia.
Selanjutnya
Tony menjelaskan, industri bisa saja mengurangi kapasitas produksi untuk mencegah kerugian. Tetapi dalam skenario tersebut, negara dan pekerja akhirnya akan ikut merugi. Sebab, negara dan pekerja kehilangan potensi pendapatan. Negara juga merugi karena lapangan kerja gagal tercipta akibat industri menahan atau bahkan memangkas produksi.
Jika keadaan itu berlanjut, kata dia, investor akan memilih hengkang ke negara lain yang lebih mendukung pengembangan modalnya. Skenario itu tidak bagus untuk Indonesia yang tengah bekerja keras menarik investasi sebanyak mungkin.
"Calon investor bukan tidak mungkin akan menghapus Indonesia dari daftar calon lokasi penanaman modal jika ada fakta yang mengungkap bahwa banyak investor di Indonesia malah justru memindahkan usaha ke negara lain," ungkap dia.
Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI, Eka Sastra mengatakan, kasus seperti ini sebenarnya banyak terjadi di industri tembakau. Menurut dia, regulasi terkait tembakau yang dianggap tidak jelas dapat menjadi penyebab utama investor di industri ini enggan mempertahankan bisnisnya di Indonesia.
"Hal ini dapat memberi dampak krusial, seperti diketahui pada 2017 sektor tembakau menyumbangkan Rp 149 triliun atau 10 persen dari target pendapatan APBD. Sektor itu juga mempekerjakan total 6,4 juta orang yang terdiri dari petani tembaku, petani cengkeh, pekerja pabrik, hingga pekerja di sektor distribusi produk tembakau," tandas dia.
Advertisement