Pemberian THR ke Jurnalis dari Narasumber Sama seperti 'Amplop'?

Surat edaran soal THR tersebut rutin diberikan oleh Dewan Pers menjelang hari raya. Hal ini menanggapi fenomena oknum jurnalis yang disebut kerap 'memburu' amplop dan THR dari narasumber.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 05 Jun 2018, 16:48 WIB
Ilustrasi Korupsi. (Liputan6.com/Rita Ayuningtyas)

Liputan6.com, Jakarta - Para jurnalis atau wartawan dilarang menerima tunjangan hari raya (THR) selain dari perusahaan tempatnya bekerja. Pasalnya, pemberian THR dinilai merupakan tanggung jawab perusahaan pers, sehingga jika didapat dari narasumber atau pihak lain sama dengan amplop yang bertentangan dengan kode etik jurnalistik.

Bukan tanpa alasan. Hal tersebut sesuai dengan surat Dewan Pers Nomor 264/DP-K/V/2018 tentang imbauan Dewan Pers menjelang Idul Fitri 1439 H, terkait dorongan agar jurnalis menjaga sikap moral dan etika demi kepercayaan publik dengan tidak meminta uang atau bingkisan hari raya.

Surat edaran soal THR tersebut rutin diberikan Dewan Pers menjelang hari raya. Hal ini menanggapi fenomena oknum jurnalis yang disebut kerap "memburu” amplop dan THR. Hal ini sekaligus menjadi keluhan para pejabat.

"AJI Mataram memandang pemberian THR oleh pejabat SKPD ini menyalahi ketentuan. Selain melanggar kode etik, karena sejatinya sesuai ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, pembayaran THR adalah kewajiban perusahaan pers kepada jurnalisnya,” kata Ketua AJI Mataram Fitri Rachmawati.

Tradisi pemberian THR, bingkisan, atau parsel menjelang Lebaran kepada jurnalis tidak hanya melanggar kode etik jurnalistik, tapi juga dinilai berpotensi memengaruhi independensi jurnalis dalam menulis karya jurnalistiknya. Larangan itu juga ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 2 Undang Undang Pers No 40 tahun 1999 tentang kode etik jurnalistik.

"Suap dalam hal ini adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang memengaruhi independensi," kata Fitri.

Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) TGB Muhammad Zainul Majdi pun telah meminta kepada seluruh jajarannya di Setda dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) agar tidak memberikan THR kepada jurnalis.

"Agar tradisi memberi amplop atau memberi THR dihentikan. Sebab mudarat jangka menengah dan panjang, lebih banyak dibanding kemaslahatan," kata Tuan Guru Bajang (TGB).

Masalah amplop dan THR jelang hari raya diakuinya sudah menjadi tradisi di kalangan pemerintah daerah. Salah satu profesi yang sering dibicarakan karena disebut menerima, bahkan meminta adalah jurnalis.

Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016, perusahaan wajib membayar THR kepada pekerjanya tanpa melihat status hubungan kerja. THR wajib diberikan kepada perkerja yang telah menjalani masa kerja minimal satu bulan.

Sementara besaran THR diatur Pasal 3 ayat 2a Permenaker No 6 Tahun 2016, bahwa besaran THR adalah upah pokok ditambah tunjangan tetap. Tenggat waktu pembayaran THR ialah tujuh hari sebelum hari raya.

Mengacu pada permenaker tersebut, pekerja tetap pada industri pers diklasifikasikan masuk dalam status Perjanjian Kerja Waktu Tetap (PKWT). Adapun kontributor, koresponden, stringer, dan penyedia jasa berita dianggap masuk ke dalam status Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya