Penegak Hukum Dinilai Langgar HAM dalam Kasus Edward Soeryadjaya

Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menegaskan, Edward Soeryadjaya seharusnya dibebaskan.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Jun 2018, 00:07 WIB
Direktur Ortus Holding Ltd yang juga menjabat sebagai Chief Komisioner PT. Monorail Jakarta, Edward Seky Soeryadjaya. (AFP Photo/Adek Berry)

Liputan6.com, Jakarta - Setara Institute menilai telah terjadi pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang dilakukan penegak hukum terhadap pengusaha Edward Soeryadjaya.

Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menegaskan, Edward seharusnya dibebaskan setelah praperadilan menyatakan status tersangka dan surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) terhadap pengusaha itu gugur demi hukum. Namun, saat ini Edward masih ditahan dan menjalani persidangan.

"Yang dilakukan penegak hukum terhadap Edward adalah pelanggaran. Dan pelanggaran ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi setiap warga negara, terlebih ada pelanggaran hak azasi manusia, ada hak warga negara yang juga ikut dilanggar,” ujar Bonar Tigor dalam keterangannya, Selasa (5/6/2018).

Pendapat senada dilontarkan praktisi hukum Maqdir Ismail. Menurut Maqdir, kasus Edward tidak bisa diadili karena penetapan tersangka atas nama Edward dinyatakan tidak sah oleh praperadilan.

"Kasus ini adalah praktik buruk penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung," kata Maqdir

Maqdir juga menilai, kasus Edward adalah perkara perdata yang dikriminalisasikan. Praktik buruk mengkorupsikan perkara perdata ini harus dihentikan. "Ini perkara perdata. Selesaikan secara perdata mengingat aturan dan praktik “prejudicial geschil” ujar Maqdir Ismail.

Pernyataan Bonar Tigor dan Maqdir Ismail dilontarkan setelah PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat melanjutkan sidang korupsi dana pensiun PT Pertamina kendati Edward Soeryadjaya, yang dinyatakan sebagai terdakwa, sudah memenangkan sidang praperadilan beberapa pekan sebelumnya.

 


Dipertanyakan DPR

Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil memberi pandangannya saat diskusi revisi UU KUHP di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (15/3/2016). Nasir menyebut RUU KUHP yang sedang dibahas akan menjadi pembaharuan hukum pidana di Indonesia. (Liputan6.com/Johan Tallo)

PN Tipikor untuk kali pertama membacakan dakwaan kepada Edward pada 16 Mei 2018. Padahal, pada 23 April sebelumnya, sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan memutuskan status tersangka Edward dalam kasus ini gugur demi hukum. Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) yang diterbitkan Kejaksaan Agung terhadap Edward dalam kasus ini juga dinyatakan batal.

Hal ini pun mengundang tanya dari kalangan Dewan. "Ini aneh. Ada apa? Komisi III DPR harus mempertanyakan persoalan ini. Harus dicari tahu kenapa sidang tetap digelar ketika sudah digugurkan praperadilan?" ujar anggota Komisi III DPR Nasir Djamil.

Kuasa hukum Edward, Bambang Hartono, menyatakan, putusan praperadilan adalah undang-undang yang harus dilaksanakan. Namun, dalam sidang kasus Edward di PN Tipikor Jakarta Pusat, dalam agenda jawaban eksepsi Jaksa, penuntut umum justru mengkoreksi putusan praperadilan kasus Edward dan berkeras tak mau menjalankannya.

Bambang mengaku tengah mempertimbangkan untuk melaporkan aparat hukum yang mengabaikan putusan praperadilan tersebut ke Kepolisian berdasarkan pasal 421 terkait penyalahgunaan kekuasaan.

"Itu masukan dari ahli hukum Hamdan Zoelva," ujar Bambang.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya