Ada THR, Indeks Keyakinan Konsumen RI Naik

Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) mengindikasikan optimisme konsumen meningkat pada Mei 2018.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 06 Jun 2018, 19:40 WIB
Konsumen.

Liputan6.com, Jakarta - Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) mengindikasikan optimisme konsumen meningkat pada Mei 2018. Hal itu tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Mei 2018 sebesar 125,1, lebih tinggi dibandingkan dengan 122,2 pada bulan sebelumnya.

Dikutip dari laman resmi BI, Rabu (6/6/2018), keyakinan konsumen yang lebih tinggi didorong oleh peningkatan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) khususnya Indeks Penghasilan dan Indeks Pembelian Barang Tahan Lama.

Hal ini didorong oleh adanya Tunjangan Hari Raya (THR) dan menyambut Hari Raya Idul Fitri. Sementara itu, Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) sedikit menurun dari bulan sebelumnya terutama disebabkan oleh melemahnya ekspektasi kegiatan usaha pada enam bulan mendatang.

Hasil survei juga mengindikasikan penurunan tekanan inflasi pada tiga bulan mendatang (Agustus 2018) dari bulan sebelumnya. Hal itu tercermin pada Indeks Ekspektasi Harga (IEH) tiga bulan mendatang sebesar 180,0, lebih rendah dari 183,6 pada bulan sebelumnya.

Konsumen memperkirakan menurunnya tekanan kenaikan harga tersebut dipengaruhi oleh normalnya kembali permintaan pasca Lebaran dan terjaganya pasokan barang, baik makanan maupun non-makanan.


Ini Syarat Supaya RI Bisa Bertahan dari Gejolak Ekonomi Dunia

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves saat memberikan pemaparan dalam Indonesia Economic Quarterly, Jakarta, Selasa (17/1). Potensi bagi Indonesia untuk tumbuh secara inklusif memiliki peluang yang cukup besar.(Liputan6.com/Angga Y)

World Bank atau Bank Dunia menilai, kondisi keuangan global yang kini lebih ketat serta meningkatnya volatilitas turut berkontribusi terhadap arus keluar modal dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo A Chaves mengatakan, normalisasi kebijakan moneter AS yang diproyeksikan lebih cepat berdampak terhadap kondisi keuangan global yang juga telah mengalami pengetatan lebih cepat dari yang diperkirakan.

"Itu mengakibatkan terjadinya volatilitas di antara negara-negara berkembang dalam beberapa bulan terakhir. Pengetatan kebijakan AS menyebabkan defisit neraca pembayaran sebesar 1,5 persen dari PDB pada kuartal I, pertama kali dalam dua tahun terakhir," papar dia di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/6/2018).

Rodrigo menyebutkan, nilai imbal hasil obligasi dan kurs rupiah ikut mendapat tekanan sebagai dampak paparan Indonesia yang relatif tinggi terhadap investor portofolio asing.

"Imbal hasil obligasi Indonesia naik 21 basis poin di kuartal I, sementara rupiah mencapai nilai terendah dalam 31 bulan terakhir terhadap dolar AS," jelasnya.

Namun begitu, dia menyarankan, bila suatu negara mampu membuat kerangka kebijakan ekonomi makro yang sehat, itu dapat memberikan penyangga terhadap peningkatan volatilitas global.

Rodrigo menganggap, kebijakan moneter di Indonesia telah berjalan dengan baik, sehingga menjaga suku bunga riil pada wilayah positif dan mempertahankan ekspetasi inflasi. Hal itu juga disokong upaya Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga sebanyak dua kali sebesar 25 bps.

"Selain itu, kurs rupiah secara efektif tetap 5,3 persen lebih kuat daripada saat Januari 2014, menyusul akibat yang berkepanjangan dari apresiasi riil yang terjadi setelah adanya Taper Tantrum," pungkas Rodrigo.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya