Cek Perbandingan Letusan Merapi 2006, 2010, dan 2018

Trauma dengan letusan Merapi 2010. Ada baiknya cek perbandingan letusan Merapi berikut ini supaya semakin mengenal gunung berapi di Yogyakarta

oleh Switzy Sabandar diperbarui 07 Jun 2018, 11:31 WIB
Terdapat perbedaan signifikan antara letusan Merapi pada 2006, 2010, dan 2018.

Liputan6.com, Yogyakarta Status Gunung Merapi masih waspada membuat orang bertanya-tanya seperti apa letusan yang akan terjadi kelak. Terlebih, sebagian besar masyarakat Yogyakarta masih trauma dengan erupsi 2010 yang menelan banyak korban jiwa dan material.

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) DIY memaparkan sejumlah data terkait letusan Merapi. Perbandingan dilakukan terhadap dua letusan besar yang pernah terjadi pada 2006 dan 2010 ditinjau dari prekursor atau gejala dan kronologisnya.

"Pada erupsi 2006 diawali dengan pertumbuhan kubah lava dan pada puncak erupsi ada awan panas," ujar Hanik Humaida, Kepala BPPTKG DIY, dalam jumpa pers di Yogyakarta, Rabu (6/6/2018).

Ketika itu Volcano Explosive Index (VEI) 2, dari skala 1 yang paling rendah sampai 4 tertinggi. Letusan Merapi pada 2006 memuntahkan material 10 juta meter kubik dengan jarak luncur awan panas mencapai tujuh kilometer.

Tingkat kegempaan per hari tercatat VT maksimal 20 kali, MP atau hembusan maksimal 250 kali, dan guguran maksimal 20 kali.

Erupsi Merapi 2010 muncul kolom letusan awan panas dengan VEI IV. Material letusan kala itu mencapai 130 juta meter kubik dengan jarak luncur awan panas 15 kilometer.

Tingkat kegempaan per hari tercatat VT maksimal 200 kali, MP maksimal 600 kali, dan guguran maksimal 400 kali.

"Letusan Merapi 2006 dan 2010 mempunyai prekursor yang jelas dari semua parameter data pemantauan, ucap Hanik.

 


Letusan Merapi 2018 Berbeda

Terdapat perbedaan signifikan antara letusan Merapi pada 2006, 2010, dan 2018.

Hanik menjelaskan letusan pada 2018 yang dimulai 11 Mei lalu tidak memberikan prekursor yang jelas dan didominasi oleh pelepasan gas.

Letusan kemarin menghasilkan material kurang dari 100.000 meter kubik dengan lontaran material radius kurang dari tiga kilometer dari puncak.

“Letusan freatik bukan merupakan bahaya utama yang mengancam jiwa penduduk, namun bisa menjadi indikasi untuk aktivitas selanjutnya,” tutur Hanik.

Aktivitas vulkanik didominasi oleh aktivitas pelepasan gas yang ditunjukkan oleh kegempaan MP, guguran dan hembusan yang cukup tinggi. Misal, munculnya hembusan sampai tiga kali sehari padahal dalam keadaan normal tidak ada sama sekali.

Ia tidak menampik, aktivitas Merapi sekarang terkesan landai jika dibandingkan 2010 dan 2006. Meskipun demikian, ia belum berniat menurunkan status.

"Hembusan masih terbilang tinggi, itu penyebabnya," kata Hanik.

 


Waspada Dinding Kawah Runtuh

Terdapat perbedaan signifikan antara letusan Merapi pada 2006, 2010, dan 2018.

Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG DIY Agus Budi Santoso mewaspadai kemungkinan runtuhnya dinding kawah Merapi karena tekanan tinggi suhu magma. Area tiga dari empat area bukaan lava di puncak Merapi telah terbuka karena letusan 11-24 Mei lalu.

Runtuhnya dinding kawah juga sudah dimasukkan ke dalam skenario BPPTKG dan rencana kontijensi bencana BPBD Jawa Tengah.

Analisis BPPTKG DIY menyatakan apabila runtuh, material yang turun berupa pasir dan batu serta erupsi akan mengarah ke Kali Gendol.

Menurut Agus, naiknya magma juga bisa menjadi penyebab runtuhnya dinding kawah karena menimbulkan getaran.

"Tetapi letusan freatik maupun magmatik yang terjadi pada 11 sampai 24 Mei lalu tidak memberikan dampak karena tidak menimbulkan tekanan," ucapnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya