Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus melewati jalan terjal untuk merealisasikan wacana larangan eks narapidana korupsi menjadi calon legislatif (caleg). Bahkan ketika rancangan peraturan KPU tersebut telah dikirimkan ke Kemenkumham untuk diundangkan, menurut Ketua KPU Arief Budiman, proses rancangan Peraturan KPU kali ini untuk pertama kalinya memakan waktu.
Biasanya, kata Arief, setelah dikirimkan, rancangan itu akan dicek sebatas administrasi bukan substansinya. Seperti benar atau tidaknya penulisan dan kutipan lalu selanjutnya diberi penomoran (diundangkan).
Advertisement
"Iya, di tahap ini loh ya. Enggak ada tulisan yang salah gitu-gitu aja, bukan substansinya," ujar Arief, di Gedung KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu (6/6/2018).
Namun, Arief menjelaskan bahwa rancangan PKPU tersebut sudah sah karena telah ditandatangani KPU. Hanya saja sampai kini pihaknya masih menunggu penomoran dari Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham).
"Ini kan sedang dalam pengundangan, jangan bicara tidak diundangkan. Diundangkan," tegas Arief.
Dirjen Perundang-Undangan Kemenkumham, Widodo Ekatjahjana, menyatakan, Kemenkumham dapat mengembalikan dan menolak rancangan PKPU terkait larangan eks napi korupsi menjadi caleg. Dengan catatan, aturan tersebut bertentangan dengan undang-undang.
Kewenangan tersebut dimiliki Kemenkumham karena telah diatur dalam Permenkumham (Peraturan Menteri Hukum dan HAM) No 31 Tahun 2017, tentang Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.
Aturan itu, kata dia, memperbolehkan mereka untuk memeriksa kelengkapan berkas usulan peraturan dan memeriksa substansi aturan yang diajukan guna tidak adanya pertentangan antara aturan yang diajukan dengan peraturan yang setingkat, aturan yang lebih tinggi, dan/atau putusan pengadilan.
"Iya kami bisa mengembalikan (draf) agar diselaraskan. Tujuannya, supaya tidak ada peraturan yang bertentangan dengan konstitusi, undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi," ujar Widodo.
Selain itu, rancangan peraturan ini juga menuai banyak pro dan kontra dari berbagai pihak terkait cara KPU untuk melawan korupsi. Meskipun dikatakan oleh pihak yang menolak, mereka tetap memiliki semangat yang sama, yakni memberantas korupsi.
Mereka yang Menolak
DPR, Badan Pengawas Pemilu, Kemendagri, Kemenkumham hingga Presiden Joko Widodo merupakan sejumlah pihak yang secara jelas menolak wacana KPU untuk memasukan aturan tersebut di dalam peraturan KPU (PKPU) anggota legislatif.
Mereka menolak dengan alasan yang sama, karena dianggap aturan tersebut tidak ada di undang-undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Karena itu, KPU dianggap tidak dapat membuat aturan yang bertentangan dengan undang-undang. Alasan lainnya karena KPU dianggap mencabut hak politik seseorang. Padahal, KPU dipandang tidak memiliki wewenang untuk itu.
"Jadi nanti jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan UU itu saja," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/5/2018)
"Pencabutan hak politik dapat dilakukan sesuai perintah UU atau keputusan pengadilan," ia menjelaskan.
Presiden Jokowi menyarankan KPU agar menandai saja para caleg mantan narapidana korupsi. Dia juga mempersilakan untuk KPU mengkajinya kembali, mengingat PKPU merupakan wewenang KPU.
"Kalau saya itu hak. Hak seseorang untuk berpolitik. Tapi KPU bisa saja mungkin membuat aturan. Misalnya boleh ikut tapi diberi tanda 'mantan koruptor'," kata Jokowi di Universitas Uhamka, Jakarta Timur, Selasa (29/5/2018).
Bahkan, penolakan secara langsung pernah diterima KPU. Komisi II DPR, Bawaslu, dan Kemendagri secara terbuka menolak aturan tersebut ketika KPU melakukan rapat dengar pendapat di DPR RI bersama ketiga lembaga tersebut.
Mereka menganggap semangat aturan tersebut baik, tapi tidak bisa menyematkan norma baru ketika tidak diatur di dalam perundang-undangan atau aturan di atasnya. Selain itu, pencabutan hak politik juga dianggap hanya dapat dilakukan lewat undang-undang dan putusan pengadilan. Karenanya secara terbuka, ketiga lembaga itu sepakat tolak aturan tersebut.
"Dari pemerintah (Kemendagri), Bawaslu, maupun ibu dan bapak anggota (DPR) telah banyak hal yang kita bisa simpulkan. Saya kira kita patuh terhadap UU. Tidak diatur dalam UU maka dia jangan dimunculkan," ujar Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali, dalam RDP, di Gedung DPR RI, Jakarta Selatan, Selasa (22/5).
Namun, Komnas HAM mematahkan alasan mereka yang menolak rancangan aturan karena dianggap dapat mencabut hak politik seseorang.
Disampaikan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, larangan eks napi korupsi menjadi caleg tidak melanggar HAM. Itu karena menurutnya, pencabutan hak politik seseorang merupakan hal yang biasa dilakukan dan bukan termasuk HAM absolut.
Secara prinsip, kata dia, kalaupun aturan tersebut dihadirkan maka tidak akan mengurangi hak-hak politik seseorang. Meskipun ia mengakui diperlukan landasan hukum dan alasan yang kuat untuk mengaturnya.
Advertisement
Menjaga Marwah dan Wibawa Wakil Rakyat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendukung KPU untuk buat aturan tersebut. Ketua KPK Agus Rahardjo mengaku merasa bingung jika mantan terpidana korupsi tetap bisa dicalonkan dalam pemilu. Seolah-olah, kata dia, tidak ada lagi orang yang berintegritas dan kompeten untuk menjadi wakil rakyat.
"Sangat setuju saya. Kalau itu saya sangat setuju. Ya gambarannya itu tadi," ujar Agus, di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Jumat (25/5/2018).
"Apa enggak ada orang lain yang lebih kompeten? Apa enggak ada orang lain yang integritasnya lebih bagus? Masa kita dorong untuk terus masuk (menjadi caleg). Saya setuju itu," Agus menegaskan.
Selain Agus, Wakil Presiden Jusuf Kalla alias JK juga menegaskan dukungannya atas rencana KPU mengeluarkan larangan mantan terpidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2019.
JK punya alasan kuat mendukung aturan itu meski Presiden Joko Widodo tidak menyiratkan dukungan yang sama.
"Saya sudah setuju, supaya betul-betul DPR punya wibawa yang baik. Ya (saya) mendukung itu," kata JK di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Rabu (30/5/2018).
Wapres menilai, larangan mantan napi koruptor menjadi caleg bisa meminimalkan tindak pidana korupsi. Khususnya yang menyangkut anggota legislatif.
"Kita kan selalu ada faktor untuk memilih orang-orang yang baik. Orang bekerja saja harus pakai surat keterangan kelakuan baik, apalagi ini mau jadi anggota DPR. Jadi kalau anggota DPR-nya cacat, bagaimana jadinya nanti," ucap JK.
Berbeda dengan pihak-pihak yang secara tegas memperlihatkan penolakan maupun dukungannya, Menkopolhukam Wiranto belum menentukan sikapnya. Namun ia menyampaikan akan turut membantu menyelesaikan polemik tersebut.
"Saya sudah bicara dengan banyak pihak, secara menyeluruh, masyarakat pandangannya sudah satu arah. Koruptor kok masih jadi pejabat, kok masih jadi wakil rakyat, padahal banyak sekali yang bukan koruptor yang punya kualitas. Nantilah kita bahaslah," ujar Wiranto di Pusdiklat BPK, Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Namun dia mengatakan, ada beberapan pendapat yang masih harus disaring dan dijadikan bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan. Sebab, kata dia, seharusnya produk hukum dikelola dengan matang sehingga tak menimbulkan kontroversi.
"UU itu puncak dari komunikasi yang baik antara seluruh pihak. Begitu di undangkan itu sudah final dan dipatuhi. Dan sebelum ribut kita ajak bersama dan duduk bersama. Apa susahnya negeri ini kan negeri musyawarah mufakat, bukan menang-menangan. Jadi tugas saya menyelesaikan masalah dalam satu koridor musyawarah mufakat agar menghasilkan suatu kebenaran," ungkap Wiranto.
Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengungkapkan, pihaknya ngotot tak memperbolehkan mantan napi korupsi menjadi caleg karena KPU ingin masyarakat memiliki wakil rakyat yang bersih dari persoalan korupsi.
"Nah itu harus dimulai dari rekrutmen calon legislatif, itu pintu masuk yang sangat penting," ungkap Pram.
Jika pun aturan ini diundangkan oleh Kemenkumham aturan ini rentan untuk di judicial review ke Mahkamah Agung (MA).
Namun, Ketua KPU Arief Budiman mengaku tak khawatir jika aturan tersebut digugat ke MA. Sebab, menurutnya, setiap aturan pada dasarnya dapat digugat.
"Jangankan yang diperdebatkan, yang enggak didebatkan saja digugat. Ya enggak apa-apa. KPU juga nanti dalam membuat aturannya harus hati-hati. Benar enggak ada dasar regulasinya. Sebab, setiap saat banyak pihak akan menggugat aturan PKPU," ucap dia.
Arief pun tetap optimistis rancangan PKPU mengenai pencalonan legislatif dapat diundangkan. Termasuk poin larangan eks narapidana korupsi menjadi calon legislatif.