Pahlawan Pemberantas WannaCry Kembali Berurusan dengan FBI

Meski berperan penting dalam melawan WannaCry, pria ini diseret ke meja hijau karena dituduh berbohong ke FBI.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 07 Jun 2018, 17:30 WIB
Marcus Hutchins, pria yang berhasil 'melumpuhkan' WannaCry. (Foto: NBC News)

Liputan6.com, Jakarta - Masih ingat dengan serangan malware WannaCry pada 2017 lalu? Pria yang memberantasnya ternyata pernah kena kasus hukum karena menjual malware bernama Kronos.

Nama pria itu adalah Marcus Hutchins. Ia baru saja terbebas dari kasus itu pada Agustus lalu, tapi sekarang kembali diseret ke meja hijau atas tuduhan berbohong kepada FBI.

Dilansir Cyberscoop, Kamis (7/6/2018), pihak Hutchins menolak tudingan berbohong. Alasannya, saat Hutchins diringkus FBI, pria tersebut memang sedang kelelahan karena mengikuti pesta di konferensi keamanan siber.

Lewat akun Twitter-nya, pria yang berperan penting dalam menumpas WannaCry itu tak hanya menolak tuduhan telah berbohong, tapi berkata kasus ini hanya "omong kosong."

"Telah menghabiskan waktu berbulan-bulan dan uang lebih dari US$ 100 ribu melawan kasus ini, lalu mereka pergi dan mengulang kasus dengan tuduhan omong kosong seperti 'berbohong ke FBI.' Kita butuh lebih banyak mineral (uang)," tulisnya.

Sebelumnya, Hutchins memberi pernyataan bahwa ia tak tahu kode komputer buatannya merupakan bagian dari malware Kronos yang menyerang sistem perbankan. Aksi tersebut terjadi pada Juli 2012 sampai September 2015, sebelum muncul kasus WannaCry.

Namun, pihak pengadilan menuduh Hutchins tahu betul bahwa Kronos dipakai untuk membobol sistem bank, serta turuf aktif menjual malware buatannya di YouTube.


Meminta Sumbangan

Ilustrasi Hacker

Sudah bukan rahasia umum bahwa biaya legal amat mahal. Hutchins pun sudah menggelontorkan US$ 100 ribu atau setara Rp 1,3 miliar. Sekarang, karena tersangkut kasus lagi, ia berupaya meminta tolong pendukungnya untuk memberi sumbangan.

Sejauh ini, ia sudah berhasil mengumpulkan US$ 21 ribu atau sekitar Rp 296 juta. Selain meminta sumbangan uang, ia juga menerima sumbangan dalam bentuk uang kripto.


WannaCry di Indonesia

Ilustrasi Ransomware WannaCrypt atau yang disebut juga Wannacry (iStockphoto)

Bulan Mei 2018 adalah tepat setahun sejak serangan ransomware WannaCrypt atau WannaCry melanda banyak negara.

Kala itu, Indonesia juga kena getahnya. Serangan siber yang meresahkan ini tak cuma membuat heboh Indonesia, tetapi juga semua negara di dunia.

Jelas saja, WannaCry mampu melumpuhkan sistem digital perusahaan otomotif Honda, hingga menyetop produksi di pabrik kendaraannya selama satu hari. Parahnya, bahkan ribuan alamat IP di Indonesia sampai terjangkit WannaCry.

Menurut keterangan CTO Avast Ondrej Vicek, serangan WannaCry yang menghampiri Indonesia ternyata didapuk terbesar kedua di dunia.

Pihaknya juga telah mendeteksi dan memblokir lebih dari 176 juta serangan WannaCry di 217 negara sejak awal 2016. Serangan tersebut bahkan masih terus berlanjut hingga tahun ini.

Dalam keterangan Avast yang diterima Tekno Liputan6.com, Avast telah memblokir 54 juta serangan WannaCry selama Maret 2018.

Sementara, di Indonesia Avast sudah berhasil menendang 17 juta serangan WannaCry pada periode 5 Desember 2017-4 Januari 2018.

"Kami ingat kehebohan publik waktu 'wabah' (WannaCry) tersebut pecah untuk pertama kalinya. Kita pasti berasumsi kalau pengguna PC pribadi dan perusahaan sudah memperbarui sistem mereka," ujar Vicek.

"Tapi sayang, data kami mencatat masih ada sepertiga (sekitar 29 persen) komputer berbasis Windows di seluruh dunia yang masih rentan dengan WannaCry," tambahnya menjelaskan.

Ia juga menuturkan, WannaCry berhasil membobol komputer disebabkan sejumlah faktor, seperti ransomware yang bisa mengeksploitasi kerentanan yang ada di PC dengan sistem operasi lawas.

Untuk diketahui, hampir sebagian besar sistem operasi lama sudah tidak didukung pembaruan. Oleh karena itu, sistem operasi ini rentan dengan malware termasuk WannaCry.

(Tom/Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya