Moeldoko: Jokowi Mendukung Penuh Penguatan KPK

Menurut Moeldoko, Presiden akan mendukung sepenuhnya upaya mulai dari pencegahan sampai penindakan oleh KPK.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 07 Jun 2018, 14:42 WIB
Kepala Staf Presiden, Moeldoko (Liputan6.com/Yunizafira)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan, pemerintah tidak akan melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dalam penanganan tindak pidana korupsi. Meski, kata dia, ada usulan delik tindak pidana korupsi dimasukkan ke dalam revisi KUHP.

"Istana mendukung penguatan KPK. Prinsipnya, pandangan Presiden sangat jelas, clear. Presiden akan mendukung sepenuhnya upaya mulai dari pencegahan sampai penindakan oleh KPK," kata Moeldoko di gedung Bina Graha, Jakarta, Kamis (7/6/2018).

Bahkan, kata dia, pemerintah dan KPK telah membuat kesepakatan untuk mencegah korupsi. Kesepakatan itu nantinya akan dituangkan dalam sebuah peraturan presiden (perpres).

"Kita sudah buat kesepakatan dengan KPK dan segera turun perpresnya untuk pencegahan korupsi. Kan presiden sangat konsen dengan keberadaan dan fungsi KPK," ucap Moeldoko.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut revisi KUHP dapat menghilangkan kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi. Hal ini, kata Peneliti ICW Lola Easter, bisa dilihat dari Pasal 729 di RKUHP, terbuka peluang bagi lembaga independen lain untuk menangani tindak pidana khusus.

"Pasal 723 RKUHP kemudian mementahkan itu semua, dengan bilang satu tahun sejak revisi KUHP ini disahkan, buku sakunya, atau yang bersifat ketentuan umumnya itu berlaku untuk semua undang-undang. Jadi ini kan semacam ada inkonsistensi," kata Lola di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu 3 Juni 2018.

"Nah, ini kami khawatir bahwa kemudian soal kewenangan lembaga independen ini juga jadi dipertaruhkan di situ," kata dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 


Denda Menurun Drastis

Massa membentangkan spanduk saat melakukan demontrasi di depan Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (12/2). Mereka menolak KUHP dengan alasan KUHP tidak berpihak pada kelompok marjinal utamanya, Perempuan, Anak, ODHA, Minoritas, LGBT. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kemudian, Lola juga menyoroti tentang berkurangnya jumlah denda yang dijatuhkan bagi terpidana kasus korupsi. Dalam UU Tipikor, khususnya dalam Pasal 3, kata Lola, disebutkan bahwa denda minimal bagi terpidana korupsi sebesar Rp 50 juta dan denda maksimalnya Rp 1 miliar. Adapun pada Pasal 688 revisi KUHP, kata Lola, jumlahnya menurun drastis.

"Di mana pidana minimalnya Rp 10 juta dan maksimalnya Rp 150 juta. Jadi ada perubahan yang cukup drastis. Bisa lihat perbandingannya sendiri di draf yang diterbitkan pada 28 maret 2018, dengan UU Tipikor dendanya menurun secara drastis," ucap Lola.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya