Liputan6.com, Bandung Belajarlah sampai ke negeri China. Pepatah lama itu kini bisa dibaca sebagai wisatalah sampai ke negeri China. Inilah kisah Dewi Choiriyah, seorang warga patrol Indramayu yang mengaku ketagihan mengunjungi negeri panda.
Dewi ingat, dari Jakarta ia hanya membawa uang Rp 2 juta saat menuju China pada 28 Mei 2018. Uang itu hanya sampai Lijiang dan langsung habis.
"Saya lalu ke ATM ambil lagi sekitar Rp 4,5 juta," kata Dewi kepada Liputan6.com.
Dan, lagi-lagi uang itu hampir habis. Bukan karena dicopet atau tertinggal, uang itu rupanya dipakai membeli jajan.
"Karena saya suka jajan dan makan, begitu buka puasa bukan hanya makanan berat. Saya juga suka coba jajan makanan ringan lokal dari penduduk di sana," kata Dewi.
Sebagai traveler, memang sudah menjadi kebiasaan untuk menyantap kuliner setempat. Hal itulah yang membuat Dewi terus melakukan perjalanan ke luar negeri dalam kurun dua tahun terakhir. China menjadi negara favoritnya.
Baca Juga
Advertisement
Berpergian ke Provinsi Yunan ini merupakan mimpi besar bagi Dewi. Tahun lalu, ia sudah pernah ke Cina meski bukan di bulan puasa. Alih-alih berkunjung ke kota-kota besar seperti Sanghai, Beijing atau Guangzhou, Dewi malah menyukai berkunjung ke pelosok atau desa.
"Apalagi setelah membuktikan sendiri, ternyata China itu tidak sesulit yang dibayangkan orang dan tidak sejorok yang selama ini dikabarkan," kata Dewi.
Bepergian sendirian tanpa ikut tour travel ke Cina ternyata sangat mudah. Tahun lalu, Dewi berpergian ke Provinsi Guangxi. Di antaranya mampir ke kota Nanning, Fenghuang, Zangjiajie, Guilin dan Yangshou.
"Di Guangxi terutama di Fenghuang, saya jatuh cinta sama kota tuanya. Serasa tak mau pergi dari sana karena bukan hanya cuaca yang bersih, sungai yang mengalir jernih, bangunan-bangunan tua terawat. Inilah China," kata Dewi.
Ketagihan
Setelah jatuh cinta pada Cina kali pertama, Dewi pun mengucapkan janji untuk kembali ke negeri ini. Ternyata kesempatan itu datang di bulan Ramadan.
"Karena selain dapat tiket promo bertepatan di bulan Ramadan, saya juga ingin merasakan berpuasa di negara komunis," kata Dewi.
Yunan adalah provinsi dengan penduduk muslim yang cukup banyak tepatnya dari suku Hui. Sangat mudah mencari restoran halal untuk berbuka puasa.
"Di Shangrila, dari tempat penginapan saya jarak 400 meter dan 600 meter terdapat resto muslim juga. Tak ada wc umum kotor. Artinya, jika wc umum bersih, ketemu orang-orang baik dan gampang menemukan makanan halal itu adalah hal terpenting," tuturnya.
Saat berada di Jade Snow, Dewi sempat terkena mountain sickness. Gejalanya kepala puyeng, susah bernafas dan mual. Sampai-sampai ia harus menghabiskan tiga botol oksigen.
Ia juga mampir ke Baisha Village, tempat tinggal suku Naxi. Suku ini tergolong suku terhormat, Dulunya nomaden namun saat ini menetap di Baisha, wilayah dengan old town tertua di Lijiang.
"Tempat khusus yang ingin dikunjungi Old town Lijiang dan Shangrila itu sendiri. Karena waktu tahun lalu di Old Town Fenghuang dan saya jatuh cinta pada tempat itu. Kota tuanya lebih besar dan lebih indah," kata Dewi.
Advertisement
Hikmah
Dewi bercerita bahwa saat ini informasi lebih mudah didapatkan. Ia juga bergabung di komunitas BI Jabar. Sebuah wadah backpacker dan traveler yang menjadikan pertemuan sebagai ajang silaturahmi dan bertukar pengalaman.
Hobi traveling ini ternyata dapat menghasilkan uang. Bisa sambil open trip atau jadi freelance tour leader.
Dewi mengaku masih berencana kembali ke Negeri Tirai Bambu suatu saat nanti. Dalam waktu dekat ia berencana menyambangi Taipei dan India pada September dan November tahun ini.
Bagi Dewi, melakukan perjalanan adalah keluar dari zona nyaman dan mengasah kemampuan untuk bertahan hidup di tempat asing. Selain itu, ia memandang suatu perjalanan dilakukan untuk mengenal diri sendiri.
"Terkadang traveling bisa membuka mata kita untuk menerima lingkungan sekitar. Banyak malaikat tanpa sayap yang tersebar di bumi ini," kata Dewi.