Cerita Para Pensiunan di Tanah Sumba yang Jatuh Cinta pada Kakao

Para pensiunan awalnya hanya menjadikan budidaya tanaman kakao sebagai pengisi waktu kosong, tapi aktivitas itu membuahkan hasil manis.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Jun 2018, 07:02 WIB
Kakao atau yang sering disebut buah coklat ini merupakan buah yang memiliki rasa yang enak.

Liputan6.com, Sumba - "Cokelat bisa dikonsumsi hampir oleh semua orang, dari anak-anak sampai lansia, itu salah satu alasan saya memilih membudidayakan tanaman kakao yang menjadi bahan utama pembuatan cokelat," tutur Aloysius Rangga Jakadana (75), petani Sumba Barat Daya, dilansir Antara, Jumat, 8 Juni 2018.

Pensiunan guru yang mulai menanam kakao sejak 2003 di Desa Mangganipi, Kecamatan Kodi Utara, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur itu, menanam 500 pohon kakao di pekarangannya.

Kini, ia sudah menikmati hasilnya untuk menambah pendapatan keluarga. Bahkan, ia bisa membantu biaya pendidikan bagi cucu-cucunya yang berjumlah 20 orang.

"Tadi, saya petik delapan butir buah kakao dari pohon ini," ujarnya bangga sambil menunjuk sebatang pohon kakao rindang yang terletak di depan rumah yang menghadap ke Jalan Raya Kodi, sambil duduk di bangku bambu yang ditempatkan di bawah pohon tersebut.

Di belakangnya terdapat ribuan kantong polybag berisi anakan kakao yang siap diambil pemesan, yaitu dua kelompok tani dari dua desa di sekitarnya, masing-masing memesan 2.000 dan 3.000 bibit.

Meskipun mengaku kegiatan membudidayakan kakao dilakukannya sebagai perintang waktu, pria yang akrab disapa dengan Alo itu tetap bekerja keras untuk merawat pohon dan menyiapkan bibit tanaman tersebut.

Tidak semua anakan yang dipetiknya dari pohon induk bisa tumbuh subur dan siap ditanam. Beberapa di antaranya akan mati, sehingga dia harus menggantinya sampai tanaman baru itu siap untuk dijual.

"Untung banyak anakan dari pohon-pohon saya sehingga tinggal ambil dan menyiapkannya di kantong serta merawatnya sekitar 2-3 bulan untuk sampai siap dipindahkan ke lahan," kata Ketua Kelompok Belajar Kakao di Kodi Utara itu.

Harga jual bibit kakao yang tergolong unggul itu adalah Rp 10.000 per kantong, sedangkan biji kakao dengan pengeringan alami biasa dibeli dengan harga Rp 25.000 per kilogram.

Jika pemesannya akan mengambil, Alo mengatakan akan membeli satu tangki air dan mencelupkan kantong-kantong itu untuk melembapkannya agar siap ditanam. Perlakuannya pada kakao itu bukan sekadar menjual dan memetik keuntungan.

Ia mengaku mencintai tanaman, sehingga bersedia repot-repot untuk mengurus bibit kakao agar pemesan dapat langsung menanamnya. Alo juga mulai memfermentasi biji kakao sebelum dikeringkan dan dijual.

Sedikit upaya pengelolaan pascapanen itu mampu meningkatkan kualitas panen dan memberikan keuntungan baginya. Selain harganya tinggi, bobot kakao fermentasi lebih tinggi dibandingkan dengan biji kakao yang dikeringkan secara alami.

Sejak mengetahui keunggulan pohon kakao yang mampu berbuah tanpa mengenal musim, Alo mengurangi pohon jambu mete yang dahulu banyak di lahannya.

"Kakao seperti kelapa, tidak kenal musim dan terus-menerus berbuah, apalagi bila perawatannya bagus," tutur pria yang memiliki tujuh anak itu.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

 


Kecintaan Para Pensiunan

(Fotografer: Dio Pratama/Liputan6.com)

Selain Alo, di Mangganipi juga ada pria lain yang mulai mengolah lahannya dengan budidaya kakao. Pria itu menekuni usaha budi daya kakao setelah purnatugas sebagai seorang pegawai negeri.

Paulus Ramone baru memulai menanam kakao di lahan di samping rumahnya seluas kurang dari satu hektare pada 2013, di bawah bimbingan Yayasan Pengembangan Kemanusiaan (YPK) Donders.

Kebunnya yang terlihat dirawat dengan baik, mampu menghasilkan buah-buah unggul yang dapat dijual dengan harga Rp 25.000 per kilogram biji kering. "Saya tidak menghitung berapa kilo hasil panen rata-rata tiap tahun atau tiap bulan. Namun, sekali menjual rata-rata antara 3-5 kg," ujarnya.

Pohon-pohon ditanam rapi dan setiap celah dari empat pohon disediakan tanah galian untuk menampung air dan daun-daun kering yang menjadi sumber makanan bagi pohon-pohon tersebut.

Kakao dikenal sebagai tanaman yang setia, yaitu akan berbunga pada tempat yang sama, sehingga untuk memanen buahnya harus hati-hati dan menggunakan gunting serta menyisakan sebagian tangkai yang menempel di batang.

Pater Rivan Narang dari YPK Donders sebagai pendamping petani kakao, memperagakan teknik memanen buah atau membuang buah-buah yang rusak kering dan busuk, agar di tempat yang sama akan tumbuh bakal bunga dan buah yang baru.

Beberapa buah terlihat dipenuhi semut, predator ulat yang membantu merawat buah kakao. "Semakin banyak semutnya akan semakin baik agar ulat tidak bersarang di buah dan pohon," katanya.

Pohon kakao juga memerlukan perawatan, yaitu pemangkasan dahan-dahan yang tidak diperlukan, misalnya dahan yang merupakan tiang air, karena dahan tersebut tumbuh subur menyerap banyak air dan nutrisi lain sehingga membuat pohon malas berbuah.

Dahan lain yang harus dipangkas adalah bila tumpang tindih atau berbalik mengarah ke batang utama pohon.

Perawatan yang baik akan membuat pohon tidak berhenti berbunga serta menghasilkan buah-buah yang bagus, yaitu yang bisa menghasilkan antara 40-50 biji kakao dalam satu butir buah.

YPK Donders membina para petani kakao, antara lain dengan membagikan bibit tanaman, bimbingan, dan penyuluhan hingga pascapanen.


Sabar pada 3 Tahun Pertama

Bubuk Kakao. foto: bukalapak.com

Lahan di Sumba Barat Daya, cocok untuk tanaman kakao, kecuali di beberapa tempat yang sangat kering, karena tanaman muda memerlukan banyak air saat awal pertumbuhan.

Willem Wora Pandak, mantan kepala desa di Kampung Kenggor, Desa Onggol, Kecamatan Kodi, salah seorang petani yang menanam seribu bibit kakao pemberian pemerintah pada 2004-2005.

"Hanya 340 pohon yang hidup dan sudah menghasilkan buah dan sekarang mulai menanam lagi dengan teknik sambung (okulasi) hasil bimbingan dari YPK Donders," ujar dia.

Pada saat Willem menjadi kepala desa, pemerintah menyediakan bibir kakao, tapi saat itu belum banyak yang tertarik menanam. Sekarang, ketika hasil panen kakao dipandang menguntungkan, mulai banyak petani yang melirik tanaman tersebut sehingga dia pun mengajak anak dan tetangga untuk menanamnya.

Dia membagikan 240 bibit secara gratis pada tetangga dan anaknya untuk mulai membudidayakan kakao. "Hasilnya lumayan, seperti kemarin saya menjual enam kilo biji kakao ke Waitabula karena ada keperluan untuk anak sekolah," ujar pria dengan tujuh anak itu.

Dua dari anaknya saat ini bersekolah di Jawa, seorang belajar di akademi keperawatan di Jakarta, dan seorang lainnya di Malang, Jawa Timur belajar akutansi.

Kampung Onggol termasuk daerah yang mengalami kesulitan air. Pada awal menanam kakao, Willem bahkan harus membeli air yang dikirim dengan truk tangki untuk menyirami tanaman kakao setiap pagi dan sore, dan dilakukannya selama satu tahun penuh.

Pada saat tanaman sudah cukup kuat, penyiraman bisa dikurangi. Setelah dua-tiga tahun penyiraman, tidak dilakukan secara khusus dan mengandalkan air hujan saja.

"Banyak petani kurang sabar pada tiga tahun pertama, padahal setelah itu tanaman kakao akan berbuah terus menerus, hanya perlu memangkas dahan dan mengusir hama ulat, jamur dengan cara-cara ramah lingkungan, misalnya dengan air sabun," kata Rivan Narang.

Biji cokelat yang dihasilkan di Sumba Barat Daya selama ini dibeli dan ditampung oleh pedagang di Waitabula dengan harga Rp 18.000-Rp 30.000 per kilogram, sedangkan YPK Donders dengan kemitraan pernah membeli biji unggul yang difermentasi dengan harga Rp 50.000 per kilogram.

Banyak petani Sumba yang mulai tertarik dan jatuh hati pada kakao, perlahan-lahan mengurangi jenis tanaman lain, seperti jambu mete, pinang, dan nangka di halaman mereka dan menanam kakao lebih banyak lagi.

"Siapa yang tidak suka cokelat, ibaratnya anak umur nol tahun sampai nenek-nenek suka cokelat, maka saya ingin menanam lebih banyak cokelat," kata Alo.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya