Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diharapkan tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2019 karena dinilai bisa berdampak negatif bagi kelangsungan industri. Besaran tarif cukai yang tinggi dalam 5-8 tahun terakhir ini menyebabkan penurunan jumlah buruh rokok.
“Faktanya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) masih terjadi setiap tahun. Salah satu faktornya adalah karena kenaikan cukai. Kalau omset turun, pengusaha pasti PHK pekerjanya,” kata Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM-SPSI) Sudarto, Jumat (8/6/2018).
Baca Juga
Advertisement
Menurut Sudarto, pemerintah memang memiliki kepentingan meningkatkan penerimaan negara untuk memenuhi kebutuhan belanja negara setiap tahunnya. Namun besaran tarif cukai yang tinggi dalam 5-8 tahun terakhir ini menyebabkan penurunan jumlah buruh rokok.
“Kami aktif menyuarakan dari pejabat tingkat kabupaten/kota, sampai berbagai instansi/pejabat tingkat pusat. Saya bahkan pernah menyampaikan langsung ke Presiden Joko Widodo,” ujar dia.
Senada dengan Sudarto, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPS) Sjukrianto, berharap pemerintah tidak menaikkan lagi tarif cukai rokok.
“Imbas dari kenaikan cukai rokok ini panjang, dari pekerja rokok, industri, pedagang, sampai ke penerimaan negara. Masih banyak sumber pendapatan negara dari pos lainnya,” kata Sjukrianto.
Tarif cukai rokok yang rata-rata sebesar 10 persen pada tahun ini saja dinilai sudah sangat membebani para pelaku usaha kecil. Perkiraannya, pertumbuhan pendapatan dari penjualan rokok pada tahun ini akan stagnan.
“Apalagi kalau cukai rokok tambah dinaikkan, pendapatan tidak akan tumbuh,” ungkap dia.
Menurut Sjukrianto, pemerintah selalu menaikkan tarif cukai rokok dalam 3-4 tahun terakhir ini. Sayangnya, kebijakan tersebut dibuat tanpa memperhatikan peningkatan pendapatan masyarakat.
“Kalau pendapatan masyarakat bertambah, tidak masalah cukai dinaikkan. Tapi kan pendapatan masyarakat juga belum naik,” tutur dia.
Anggota Dewan Penasihat Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Andriono Bing Pratikno menambahkan, tarif cukai yang rata-rata 10 persen dalam tiga tahun terakhir ini membuat kinerja industri rokok meredup.
“Data yang tercatat, pertumbuhan kuartal pertama 2017 adalah -1,6 persen year on year dibandingkan kuartal pertama 2016. Indikasi ini memang penerimaan negara meningkat, tapi dalam jumlah batang itu sedikit,” ucapnya.
Tonton Video Ini:
Ini Bukti Harga Rokok RI Jauh Lebih Mahal ketimbang Negara Lain
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan harga rokok di Indonesia saat ini sudah lebih mahal jika dibandingkan negara lain. Hal tersebut dapat diukur dari kemampuan daya beli masyarakat.
Dia menjelaskan, berdasarkan kemampuan daya beli masyarakat atau Purchasing Power Parity (PPP), harga rokok terhadap pendapatan masyarakat Indonesia tergolong tinggi, yaitu 2,9 persen. Sementara di Singapura dan Malaysia masing-masing hanya 1,5 persen serta dua persen.
"Di Singapura terbukti bahwa harga rokok yang kita anggap mahal ternyata masih dalam jangkauan daya beli penduduk Singapura," ujar dia di Jakarta, Kamis (31/5/2018).
Baca Juga
Selain itu, lanjut Bhima, menaikkan harga rokok tidak serta-merta menurunkan angka perokok. Menurut dia, konsumen justru bisa berbalik arah mengonsumsi rokok murah bahkan rokok ilegal.
"Yang terjadi justru adanya perilaku beralihnya konsumen ke rokok yang lebih murah, atau yang paling berbahaya justru meningkatnya peredaran rokok ilegal,” kata dia.
Bhima menyatakan, hasil riset menunjukkan, sekitar 11,7 persen dari 344 miliar batang rokok di pasaran dijual secara ilegal. Oleh sebab itu, jika harga rokok langsung dinaikkan secara drastis, maka yang terjadi rokok ilegal semakin mendominasi pasaran.
"Kondisi ini jelas tidak menambah pemasukan cukai, justru kehilangan penerimaan negara bisa membesar," ujar dia.
Advertisement