Apa Kabar Nasi Jamblang Cirebon?  

Eksistensi nasi jamblang di mata pemudik terus merosot. Keberadaan tol trans Jawa tak memungkinkan pedagang nasi jamblang skala kecil menyesuaikan dengan aturan yang mengharuskan mereka berjualan di rest area.

oleh Panji Prayitno diperbarui 14 Jun 2018, 10:01 WIB
Beginilah nasi jamblang khas cirebon disajikan. Lauknya sangat tradisional, dan tak ada sentuhan modernitas. (foto: Liputan6.com / panji prayitno)

Liputan6.com, Cirebon- Arus mudik Lebaran sudah bergulir. Momentum yang selalu dimanfaatkan pelaku bisnis kuliner untuk menangguk untung.

Nani contohnya. Nani lebih dari 10 tahun berjualan Nasi Jamblang, nasi khas Cirebon. Ia selalu cerdas memanfaatkan momentum,  termasuk momen arus mudik Lebaran.

"Biasanya saya jualan di terminal Harjamukti," kata Nani, Selasa (12/6/2018).

Nani berjualan nasi jamblang dengan gaya sederhana. Mengandalkan alas duduk lesehan, warga Desa Sitiwinangun, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, itu membawa Jamblang dengan cara dipikul.

"Saya mulai buka jam empat sore. Biasanya ramai kalau pas waktu buka," kata Nani.

Mengambil waktu sore hari bukan tanpa alasan. Cirebon adalah titik strategis dan berada di titik lelah jalur mudik. Apalagi pemudik tujuan Jawa Tengah masih menduduki peringkat tinggi. Mereka harus melalui Cirebon jika terlibat arus mudik 2018 dan memilih lewat jalur pantura.

Ramaikah pelanggan nasi jamblangnya?

"Tahun ini sudah menurun. Sepi. Biasanya pemudik istirahat di pom bensin beli makan termasuk jamblang, sekarang malah langsung pergi lagi," kata Nani.

Bukan hanya perilaku pemudik yang berubah, tapi juga jumlah pemudik yang melewati pompa bensin itu. Banyak pelanggan yang ia kenal kini tak lagi mampir.

"Sebelum ada Tol Cipali saya jualan di terminal. Banyak pelanggan mobil motor istirahat makan di tempat  saya. Saking seringnya, banyak yang kami saling kenal. Tapi sejak ada Tol Cipali, situasinya…." Nani tak melanjutkan ceritanya.

Ia hanya menyebutkan keberadaan Tol Cipali menjadi salah satu alasan ia pindah lapak berjualan. Tak lagi di terminal, tapi memilih di pompa bensin. Arus mudik Lebaran 2018 sudah berbeda karena ada jalan tol.

Simak video pilihan di bawah:


Berpindah

Nani, selalu berpindah tempat jualan untuk menyiasati sepinya pembeli nasi jamblangnya. (foto: Liputan6.com / panji prayitno)

Nani dan banyak pejuang ekonomi berbasis kuliner tak pernah tahu penyebab menurunnya omzet dan pelanggan mereka. Apalagi pendapatan hasil penjualan nasi jamblang-nya harus dibagi dengan pemilik modal. Namun, Nani tak mau menyalahkan siapa pun.

"Jamblangnya saya ambil dari bos. Kalau habis, saya bisa dapat 40 hingga 50 persennya. Besaran komisi tergantung menu yang habis jenis apa," kata Nani.

Berkaca pada tahun 2017, saat itu rata-rata penjual nasi jamblang saat berlangsung momentum arus mudik mendapat pemasukan Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu per hari. Arus mudik tahun 2018, omzet penjualan yang didapat tidak bisa dipastikan.

"Tahun lalu mulai jualan jam 4 sore. Nah, jam 11 malam sudah habis dan pulang. Tahun ini, sampai jam 12 malam belum habis juga dagangan," kata Nani membandingkan.

Nani mencoba menyiasati dengan sering berpindah tempat. Ia lebih memilih SPBU secara berpindah-pindah. Tak jarang jika dagangan sepi, ia harus ikhlas melihat lalu lalang pemudik roda dua.

"Pom bensin kan selalu jadi tempat istirahat pemudik sambil isi bensin. Tahun lalu itu ramai karena bisa jualan di dalam SPBU. Tahun ini tak boleh," kata Nani.

Kisah nasi jamblang dalam momen arus mudik mungkin akan terus berlanjut pada tahun-tahun mendatang. Mungkin pula akan berhenti dan tinggal menjadi legenda yang diceritakan kepada anak cucu. Masihkah nasi jamblang bertahan dalam tradisi mudik di tahun-tahun mendatang?

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya