Liputan6.com, Semarang Mudik? Ya istilahnya memang mudik. Tradisi pulang ke desa dari perantauan saat Idul Fitri biasanya. Tradisi ini semakin lama menjadi semakin melembaga.
Sesungguhnya tradisi mudik dipicu dari tradisi saling memaafkan dan bertemu kerabat di kampung. Budayawan Prie GS menyebutkan bahwa manusia Indonesia sangat romantis. Gemar memberi makna pada apapun yang sifatnya memperkaya batin dan jiwa.
"Mudik boleh saja dianggap sebagai simbol. Simbol kerinduan manusia Indonesia pada keakraban keluarga," kata Prie GS kepada Liputan6.com, Selasa (13/6/2018)
Dalam perkembangannya, berlebaran bersama keluarga itu akhirnya bergeser menjadi fenomena cerita sukses. Bagaimana para perantau itu menunjukkan kisah sukses mereka kepada keluarga. Mudik menjadi kebutuhan bersama, kebutuhan spiritual.
Baca Juga
Advertisement
"Ini semacam pembuktian kepada orang tua bahwa pilihan mereka tidaklah keliru. Pilihan merantau terbukti menjadi jalan perbaikan kualitas dan level sosial," kata Prie.
Perbaikan strata sosial yang dimaksud seringkali disebabkan masalah-masalah remeh temeh. Biasanya persoalan ekonomi dan kemudahan mengakses keinginan. Dengan merantau mereka mendapatkan penghasilan yang tak mungkin didapat di kampung, bukan hanya penghasilan uang namun juga gaya hidup, pengetahuan peradaban, dan juga adab-adab sosial yang berkembang di perkotaan.
Mudik menjadi etalase, ekspektasi, dan semacam tujuan.
Tren Olok-Olok
Menurut Prie, hal ini bisa menguntungkan pribadi perantau karena mengenal adab hidup di desa namun juga paham adab sosial di pergaulan kota. Kelebihan yang tak ditemui oleh yang bukan perantau, orang kota sekalipun.
"Simbol-simbol itu penting karena itu akan menciptakan idealisasi dalam kehidupan. Aku dan sampeyan, kita sama-sama nggak ganteng. Tapi kita pasti memiliki idealisasi calon istri. Yang cantik, yang seksi dan seterusnya. Nah, itu gunanya simbol-simbol agar imajinasi kita bisa berkembang dan menuntun ke arah yang lebih arif. Mudik salah satu simbol saja," kata Prie.
Tahun 2018, pemudik yang menggunakan sepeda motor tak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Ini bisa dimengerti karena banyak lembaga negara dan perusahaan-perusahaan yang menyelenggarakan mudik gratis.
Namun pesepeda motor tetap ada, karena bagi sebagian perantau, capaian mampu membeli sepeda motor itu layak mendapat pengakuan. Itu adalah sebuah kisah sukses yang harus dirayakan.
"Kemudian ada pergeseran faktual yang akhirnya jadi olok-olok, yaitu tentang status jomblo. Nah para pesepeda motor yang masih pada jomblo ini tak kurang akal. Pada tahun 2018 ini rupanya menjadi sebuah tren, yakni ikut menertawakan diri sendiri dengan cara menyikapi sebagai lucu-lucuan," kata Prie.
Suryono Didit, seorang pesepeda motor asal Kediri mengaku, ia sengaja menempel kertas dengan tulisan unik di bagian belakang barang bawaannya, untuk menegaskan bahwa status jomblo, ketiadaan materi, bukan menjadi penghalang untuk kembali ke kampung.
"Sudah setiap tahun pulang. Lebaran kan pas libur, pulang kampung yang penting bisa berkumpul orang tua. Saya belum sukses, pacar juga nggak punya. Tapi yang akan menolong saya adalah doa orang tua, makanya saya pulang," kata Didit.
Advertisement
Graffiti, Keyakinan Diri
Bagi Didit, memasang tulisan di bagian belakang selain untuk menertawakan diri sendiri juga untuk menegaskan bahwa nilai silaturahmi kepada orang tua lebih penting dibanding capaian materi. Menurut Prie GS, ini adalah sikap cerdas karena bisa menjadi wisata spiritual.
"Jadi rileks spiritual, piknik rohani bisa dilakukan dengan hal-hal seperti ini. Agar bisa selalu gembira dan akhirnya menjadi kreatif," kata Prie.
Tradisi mudik 2018 memang tak sehoror mudik sepuluh tahun lalu. Saat itu mudik membawa spirit heorisme luar biasa karena harus berebut bangku kereta, harus ikhlas berdesakan dengan binatang dan banyak lagi. Horor kini bagi kaum muda adalah horor olok-olok. Horor jika dianggap tidak sukses.
"Dan anak-anak muda itu sangat kreatif menyikapi, sehingga bisa menjadi sebuah wisata yang menggembirakan," kata Prie.