Liputan6.com, Jakarta Gara-gara memberikan seks oral, langit-langit mulut seorang pria terluka. Hal ini diketahui seorang dokter gigi yang memeriksa kesehatan mulut pria itu.
Awalnya, pria 47 tahun itu mengunjungi dokter gigi setelah menyadari tambalan salah satu giginya rusak. Ketika sang dokter melakukan pemeriksaan, terdapat sebuah lesi berbentuk lingkaran di mulut bagian atas,
Advertisement
Melansir New York Post pada Jumat (15/6/2018), pria asal Meksiko itu tidak menyadari hal tersebut. Sang dokter kemudian menelusuri riwayat lengkap pasien tersebut.
Dalam laporan British Medical Journal, pria tersebut mengatakan bahwa dirinya pernah memakai ganja, kokain, dan secara aktif melakukan hubungan intim dengan pria.
Ia mengaku melakukan seks oral tiga hari sebelum mengunjungi dokter tersebut.
Dari penelusuran, dokter gigi tersebyt menyimpulkan bahwa lesi yang dikenal sebagai eritema tersebut muncul gara-gara seks oral.
"Ketika langit-langit mulut kontak dengan kelenjar penis dapat menyebabkan hematoma karena trauma tumpul dan dilatasi pembuluh darah," ujar dokter Luis Alberto Mendez yang merawat pasien seperti disebutka dalam jurnal tersebut.
"Dengan informasi ini, kami menyimpulkan bahwa eritema pada langit-langit mulutnya berkaitan dengan praktik seks oral," tambahnya.
Luka itu hilang dengan sendirinya. Walaupun begitu, pria tersebut diminta untuk tidak melakukan seks oral hingga 15 hari setelah lesi tersebut benar-benar hilang.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Bukan pertama kalinya
Walaupun jarang ditemukan, hal ini bukan pertama kalinya terjadi.
Sebuah penelitian pada 132 pekerja seks di Peru menemukan bahwa 17 partisipan menderita luka di mulut gara-gara seks oral.
“Sangat penting untuk mempertimbangkan praktik ini [seks oral] sebagai penyebab lesi mulut,” tambah Mendez.
“Sangat penting untuk mendapatkan riwayat komprehensif dan pemeriksaan oral yang terperinci."
Lalu, pada pasien yang mengalami kondisi lesi di mulut dengan riwayat pekerja seks atau yang tidak setia pada satu pasangan, dokter juga perlu mempertimbangkan kemungkinan penyakit lainnya.
“Pada pasien berisiko tinggi, kita harus mempertimbangkan kemungkinan penyakit menular seksual," tambah Mendez.
Advertisement