Liputan6.com, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menggelar open house Idul Fitri 1439H di rumah dinasnya di Komplek Menteri Widya Chandra Jakarta, Jumat (15/6/2018).
Selain ramah tamah dan bersilaturahmi, Rudiantara juga menjawab pertanyaan sejumlah jurnalis mengenai berbagai isu. Salah satunya tentang membekuan atau suspend sejumlah akun Twitter.
Selama ini di Twitter ramai disebut-sebut bahwa suspend akun diminta oleh pihak pemerintah. Rudiantara pun kembali menegaskan bahwa pemerintah tidak meminta Twitter untuk men-suspend akun yang dimaksud.
Baca Juga
Advertisement
"Akun yang di-suspend seperti apa? Akun Twitter? Saya sudah bilang itu bukan pemerintah. Enggak ada yang minta," kata Rudiantara dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (16/6/2018) di Jakarta.
Rudiantara menjelaskan, suspensi akun media sosial bisa disebabkan beberapa hal. Misalnya saja, sengaja ditutup oleh pemilik akun, flagging, atau algoritma media sosial.
"Nomor satu secara teoritis yang bersangkutan (sendiri yang menutup) atau kedua, masyarakat melakukan flagging atau (ketiga) berdasarkan alogaritma. Barangkali kalimat konten yang sebelumnya ada bot kemudian disebarkan kembali," ujarnya.
Rudiantara menyarankan sejumlah langkah agar pengguna akun media sosial terhindar dari suspensi. Antara lain dengan menghindari unggahan yang bersifat negatif.
"Hindari posting yang negatif, itu satu. Selanjutnya hindari kemungkinan konten yang (dideteksi) berdasarkan bot, jangan di-forward konten yang sama dengan bot," ungkapnya.
Rudiantara menegaskan, pemerintah tidak campur tangan dalam penanganan akun di media sosial. "Yang jelas pemerintah tidak. Bukan lepas tengan, karena Kominfo tidak melakukan apapun sama sekali. Ngapain ngurusin hal itu? Lebih baik urus yang kita sisir soal konten radikalisme," katanya.
Tentang Konten Radikalisme
Sekadar diketahui, sejak akhir Mei 2018 sampai 1 Juni 2018 menurut Menteri Rudiantara, Kemkominfo susah melakukan blokir atas lebih dari 4.000 akun dengan konten radikalisme.
"Kami kerja sama dengan Kepolisian, ada permintaan juga dari Polisi untuk melakukan blokir. Sekitar 48 persen itu dari platform Facebook dan Instagram," katanya.
Hingga bulan Juni, menurut Rudiantara, masih ada sekitar 20 ribuan akun yang disisir untuk dievaluasi dan verifikasi.
"Sejak kejadian di Mako Brimob kemudian Surabaya, rata-rata sehari ada 400-500 konten radikalisme. Tapi terakhir ini turun dalam sehari ada 50-an saja," ujarnya.
(Tin/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement