Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Halim Alamsyah menyatakan dampak kenaikan suku bunga acuan tidak akan berpangaruh dalam waktu dekat pada perekonomian Indonesia.
"Bahwa sebetulnya untuk kegiatan ekonomi di sektor industri atau sektor riil itu saya rasa pengaruh dari kenaikan suku bunga domestik masih belum banyak," kata Halim di kediamannya, Kebayoran, Jakarta Selatan, Sabtu (16/6/2018).
Halim menuturkan, dampak dari kenaikan suku bunga acuan baru akan terasa dalam jangka waktu panjang. "Paling tidak kita perlu menunggu sampai 1 tahun sampai 1,5 tahun baru kelihatan," ujar dia.
Baca Juga
Advertisement
Saat ini, lanjutnya, dampak dari kenaikan suku bunga acuan baru sebatas harapan saja. "Jadi ini lebih banyak katakanlah dampaknya itu bersifat ekspektasi, masih confident bersifat bagaimana kira-kira dampak dari kejadian di Amerika Serikat, di dunia dan bagaimana dengan kenaikkan suku bunga ini terhadap confident para pemain pasar di ekonomi Indonesia,” ujar dia.
Perekonomian akan tetap terjaga selama pemerintah terus melakukan langkah-langkah yang membuat pasar yakin pemerintah masih dalam jalur yang benar sehingga optimisme bisa dibangun dengan memperbaiki berbagai kebijakan sisi keuangan dan sisi sektor riil.
"Saya rasa upaya kita membangun keseimbangan ini akan dihargai oleh pasar, saya rasa ekonomi kita akan bagus," ujar dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
RI Tak Bisa Hindari Pengaruh Suku Bunga The Fed
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Halim Alamsyah prediksi Bank Indonesia akan kembali menaikkan suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan. Kenaikan tersebut menyusul keputusan Bank Sentral Amerika (The Fed) yang kembali menaikkan suku bunganya pada Juni.
"Kalau tren saya rasa perkembangan suku bunga kita kemungkinannya naik ya, karena suku bunga di AS itu naik," kata Halim saat ditemui di kediamannya, Jalan Raya Sriwijaya 1 No 10, Kebayoran, Jakarta Selatan, Sabtu (16/6/2018).
Halim menjelaskan, Indonesia mau tidak mau harus ikut menaikkan suku bunga acuan sebagai respons kenaikan suku bunga di AS.
"Jadi kita di Indonesia sebagai negara yang perekonomiannya terbuka, itu tidak bisa menghindar dari pengaruh suku bunga di AS," ujar dia.
Halim menegaskan, perekonomian Indonesia sudah dalam kondisi yang seimbang dan relatif stabil sebelum AS menaikkan suku bunga agresif. Namun kondisi tersebut hampir berubah pasca kenaikan suku bunga AS yang cukup agresif.
Kenaikan suku bunga di AS tersebut sempat membuat goyah dengan ditandai melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Namun, BI dinilai mampu mengatasi kondisi tersebut sehingga keseimbangan ekonomi Indonesia tetap terjaga.
"Sebelum ada kenaikan suku bunga di AS sebetulnya ya kita sudah ada keseimbangan, keseimbangan dalam pengertian dengan inflasi yang relatif sekitar 3-4 persen, pertumbuhan ekonominya yang kita lihat memang sekitar 5 persen, lalu nilai tukar yang juga stabil sekitar 12.000 - 13.000 ini sebetulnya adalah suatu keseimbangan,” ujar Halim.
Ia menambahkan, ketika bank sentral AS menaikkan suku bunga membuat perubahan dari faktor yang membentuk keseimbangan tersebut. "Oleh karena itu, BI membuat perhitungan baru bagaimana agar bisa mempertahankan equilibrium atau keseimbangan ini,” kata dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement