Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah menerima sebanyak 396 pengaduan terkait dengan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR). Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang sebanyak 241 pengaduan.
Kasubdit Pengawasan Norma Waktu Kerja, Waktu Istirahat, dan Pengupahan Kemnaker FX Watratan mengatakan, pengaduan tersebut masuk ke posko THR yang dibuka oleh Kemnaker sejak 28 Mei 2018, baik melalui email, Whatsapp, SMS, telepon maupun datang langsung ke posko.
Baca Juga
Advertisement
"Per 17 Juni ada 396 pengaduan. Sebenarnya ada tambahan sampai kemarin 24 laporan yang belum bisa pilah apakah aduan atau hanya konsultasi. Tapi yang 396 jumlah pengaduan yang di luar konsultasi. Itu yang fix ditindaklanjtui melalui koordinasi dengan Disnaker terkait," ujar dia di Kantor Kemnaker, Jakarta, Kamis (21/6/2018).
Watratan mengungkapkan, dari jumlah pengaduan tersebut, sekitar 60-70 persen disebabkan adanya kasus yang tengah berjalan seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) dan berakhirnya kontrak kerja.
Kemudian sekitar 30 persen lantaran keterlambatan pembayaran THR oleh perusahaan. Hal tersebut biasanya terkait dengan masalah keuangan yang tengah dialami oleh perusahaan.
"Ada keterlambatan pembayaran THR, karena (dibayarkan) lebih dari H-7. Kan beberapa perusahaan cost dan pemasukan di Juni tidak seimbang, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran," ia menerangkan.
Ancaman Sanksi
Menurut Watratan, hingga saat ini, Kemnaker masih terus merampungkan data terkait pengaduan hingga berakhirnya masa kerja posko pengaduan THR pada 22 Juni 2018. Selanjutnya, Kemnaker akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memberikan sanksi kepada perusahaan yang benar-benar tidak membayarkan THR kepada pekerjanya.
"Di regulasi kita, yang terkait sanksi hanya perusahaan yang betul-betul tidak mau membayar, itu bisa berupa pembatasan kegiatan usaha. Tapi ada alasannya, mereka tidak bayar kenapa, misalnya masalah keuangan dengan bukti audit akuntan publik," ungkap dia.
Selain pembatasan kegiatan usaha, sanksi lain yaitu berupa denda sebesar 5 persen dari total THR yang harus dibayarkan kepada seluruh pekerjanya. Pemberian sanksi ini akan diserahkan kepada pemerintah daerah dan Dinas Tenaga Kerja terkait.
"Dari temuan itu kita rekomendasikan, nanti Gubernur melalui SKPD merekomendasikan apakah mau diambil tindakan pembatasan usaha atau hanya teguran tertulis. Pemda terkait yang punya kewenangan perizinan kegiatan usaha. Pemda terkait yang mempertimbangkan, apakah perusahaan perlu tidak diberikan denda 5 persen dengan melihat kondisi keuangan perusahaan. Karen kan libur panjang, sehingga perusahaan mungkin alami kesulitan keuangan," tandas dia.
Advertisement